Lihat ke Halaman Asli

Orang Kecil

Di atas pasir di bawa langit

Dari Tanah Kembali ke Tanah

Diperbarui: 19 Oktober 2019   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: google

Kita kaya sumber daya alam, tetapi miskin sumber informasi. Sehingga, kekayaan yang kita miliki hanya sebatas kekayaan semu. Disinformasi serta minimnya pengetahuan inilah yang memaksa sebagian sumber daya manusia memilih untuk pindah ke kota. Di sinilah ironisnya:  lahir di desa, besar di desa, hidup sehat di tanah agraris, tetapi mati di kota sebagai kaum urban.

Informasi itu dapat dilihat, tetapi tak dapat dinikmati, terlebih untuk sampai mengolah dan menjadikannya sebuah aset yang kelak dapat dinikmati untuk generasi mendatang.

Merebaknya informasi seharusnya dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas terserapnya arus informasi. Kemudian, dapat dijadikan sebuah referensi di semua lini tanpa terkecuali. Mulai dari dewasanya para kaum urban di perkotaan sampai balitanya kaum di pelosok desa yang berkutat pada tanah serta tumbuhan yang hidup di atasnya.

Derasnya perputaran pertumbuhan ekonomi dan pergantian musim teknologi yang begitu cepat dan masif, seharusnya dapat menjadi sebuah batu loncat untuk mencapai kesejahteraan. Baik kesejahteraan dalam hidup maupun kesejahteraan dalam mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai dengan bertambahnya khasanah ilmu pengetahuan.

Namun, realitas itu jauh dari sebuah pengharapan yang dapat mengantar sebagian sumber daya manusia menjadi lebih unggul. Tergerus dalam derasnya akses digital dan pertukaran informasi, menjadi salah satu penyebab kita tertinggal dalam sektor ekonomi kreatif yang modern. Sehingga jelas, ada yang terpangkas dari terbentuknya sebuah sistem itu, yakni tidak terjangkitnya sebuah jentik literasi dalam lingkungan masyarakat agraris di pelosok.

Minimnya kesadaran ini harus menjadi sebuah kekhawatiran sekaligus kegelisahan bagi masyarakat agraris. Hal ini harus menjadi perhatian, betapa pentingnya terobosan baru yang kreatif berdasar pada pengetahuan dan riset demi keseimbangan yang berkesinambungan dalam hal mengelola lahan. Bukan sekadar mengandalkan cara-cara konvensional.

Langkah ini sebagai upaya pencegahan berlarutnya kultur yang dianggap sebagai finishing yang mutakhir, sekaligus perlahan mengenalkan masyarakat kepada peradaban baru yang lebih menekankan pada disiplin ilmu. Sehingga, yang bekerja bukan hanya semata-semata otot, melainkan kesatupaduan antara otak dan praktik.

Kesatupaduan antara teori dan praktik dalam mengelola lahan inilah yang kemudian disebut agroliterasi. Jika yang bekerja hanya otot, kita tak lebih dari sebuah mesin robot, kaku dan akan lapuk termakan waktu. Irsan dalam bukunya yang berjudul Agroliterasi terbitan 2019 telah membahas soal itu.

Istilah Agrolitercy, tulis Irsan, pada mulanya digunakan Ernest Gellner dalam bukunya Nations and Nationalism, yang diartikan sebagai sistem pemerintahan atau sistem sosial yang di mana mayoritas orang adalah petani produsen pertanian dikendalikan elite kecil yang melek huruf terbatas.

Pentingnya agroliterasi bagi masyarakat agraris adalah untuk senantiasa menjaga semangat sumber daya yang mumpuni serta menjaga kestabilannya sejak dini. Sehingga, komponen masyarakat yang tergabung di dalamnya dari berbagai rentetan umur mendapatkan edukasi sejak belia.

Beberapa tahun silam, BPS (Badan Pusat Statistik) menerbitkan laporan bertajuk Sensus Pertanian 2013. Dalam satu bagian publikasinya, BPS mendata jutaan petani di Indonesia dalam kelompok usia. Dari total 26.135.469 petani saat itu terdata kelompok usia 45---54 tahun memiliki jumlah absolut terbanyak: 7.325.544 orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline