Lihat ke Halaman Asli

Di Dalam Kereta Menuju Jogja

Diperbarui: 25 Juni 2015   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Satu tas travel barang bawaan tampaknya masih kurang bagi ibuku. Kami membawa serta dua tas travel dan satu tas ransel besar. Bapak dan ibuku membawa satu tas travel dan aku membawa ransel itu. Masing-masing tas berisi penuh barang bawaan macam pakaian, dan sekedar buah tangan ke tempat tujuan kami, Jogja. Ya, Jogja tempat kami menuju, ke rumah si Mbah dan kampung halaman bapakku.

Untung saja pagi itu nampaknya stasiun tidak begitu berjubel manusia sehingga kami tidak perlu kerepotan membawa barang bawaan kami. Maka sampailah kami di tempat duduk kami di dalam gerbong kereta.

Kuamati kursi penumpang di depan kursi kami bertiga masih kosong. Begitu juga dengan kursi penumpang di seberang jendela gerbong yang lain, masih belum nampak penumpang.

Kulihat bapakku segera sibuk dengan koran yang baru beliau beli di kios stasiun. Sementara ibuku menyibakkan kain selendang yang dikenakannya, berusaha mengusir terik panas matahari. Memang cuaca hari itu begitu menyengat. Kurasakan punggung bajuku basah karena peluh.

Kursi penumpang di depan kami tidak lama kemudian kehadiran penghuni. Seorang wong londo1, berambut sebahu, berkumis dan jenggot lebat, semuanya pirang kecoklatan, tinggi jangkung dengan setelan kaos dan celana pendek. Setelah melepas beban tas ransel dari punggungnya, wong londo itu meletakkan tas di kursi penumpang di depan kami kemudian duduk. Ia mengulum senyum pada kami bertiga. Itulah kali pertama aku melihat langsung wong londo. Tepat di depan mataku.

"cepet, sapa dia dengan boso inggris..." 2 celetuk ibuku.

Tapi aku ragu. Namun dengan agak malu-malu kuberanikan menyapa wong londo itu, "good morning mister..."

"oh, hi. Good Morning. Went to Jogjakarta?" busyet, wong londo itu bertanya balik padaku.

Kureka apa yang wong londo itu tanyakan. Tanpa pikir panjang lagi kujawab, "Yes." Entah apakah jawabanku itu cocok atau tidak, karena pelajaran bahasa inggris kelas empatku belum sampai mendengar kosa kata itu.

"hehehe... biasa mister, masih belajar." Bapakku yang semula tenggelam dengan korannya tiba-tiba menyahut. "can you speak in bahasa?"

"iya, bapak. Tapi cuma sedikit-sedikit." Aku terperangah, logatnya tidak ada sengaunya seperti wong londo seperti VOC yang kulihat dalam film-film di teve.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline