Tulisan ini dimuat di Koran Harian Radar Surabaya, Minggu 22 Juni 2014
“ Saat seksualitas dikekang, maka ia akan muncul dalam wujud keliarannya”(In The Name of Sex)
Demikianlah pernyataan Soffa Ihsan dalam buku yang diterbitkan oleh JP Books Surabaya. Buku yang mengupas seluk beluk dunia lendir tersebut, beberapa hari ini kembali menarik perhatian penulis untuk menyiginya ulang karena adanya pro dan kontra prihal penutupan lokalisasi Dolly. Lokalisasi yang kebesarannya melebihi kebesaran Phat Pong Thailand dan Geylang Singapura ini, akhir-akhir ini kerap menghiasai berita di berbagai media massa.
Upaya penutupan dan penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya, Pemprov Jawa Timur serta bekerja sama dengan Kementerian Sosial, sedikit banyak menimbulkan gejolak sosial bagi segenap orang yang berkecimpung dalam dunia abu-abu ini.
Jauh beberapa abad silam,upaya penutupan dan pembungkaman gelegak hasrat badani sebenarnya sudah pernah dilakukan dalam sejarah peradaban manusia. Pada abad 18SM semenjak hukum Hammurabbi, Yunani dan Romawi hingga agama-agama formal sekalipun telah menindak pelaku perzinahan dengan tindakan bengis seperti hukuman mati. Bahkan di era Victorian, seksualitas dikerangkeng dengan amat sangat ketat. Pemerintah, dalam hal ini negara, berperan besar dalam upaya pengontrolan ini.
Namun lacur, upaya pembumian moralitas berlandaskan doktrin agama sekalipun tak jua menyurutkan dunia prostitusi ke titik terendah atau bahkan habis sama sekali. Ia malah berdiri dengan gagahnya mengibarkan bendera layar terkembang.Muncul dari lokasi satu hingga lokasi lainnya ibarat cendawan dimusim penghujan dengan metode dan pola yang berbeda. Tak hanya itu saja. Dunia prostitusi bahkan menyesap dalam kehidupan private manusia melalui media social hingga ideologi sadar tubuh. Inilah mungkin yang dimaksud oleh Felix Guattari dengan istilah revolusi hasrat. Saat hasrat dan keinginan binatang manusia dikerangkeng, maka ia akan berusaha mencari ruang-ruang kosong untuk kemudian berusaha melampiaskannya.
Senada dengan itu, Dan Brown dalam TheLost Symbol-nya menyatakan bahwa jiwa manusia mendambakan penguasaan atas cangkang jasmaniahnya. Maka tak heran bila ada sebagian orang yang berada dan bergelut di dunia prostitusi, baik mucikari ataupun pekerjanya,mengatakan bahwa menjadi pelacur dan mucikari adalah sebuah pilihan dalam hidup. Sebuah pilihan yang tentunya mendapat cibiran, cemoohan dan gugatan siapapun.
Melihat hal itu, Noer Syam dalam hasil penelitiannya tentang potret pelacuran di kota Surabaya menyebutkan bahwa dalam kehidupan manusia, konstruksi sosial terbagi menjadi dua, kehidupan baik dan buruk. Baik dilambangkan dengan‘kanan’. Sedangkan buruk dengan ‘kiri’. Kanan dan kiri,baik dan buruk adalah hasil dari konstruksi sosial yang didasarkan pada kesepakatan sosial sehingga saat seseorang memilih salah satu diantara keduanya, maka ia akan dikenai labeling sebagaimana konstruksi sosial tersebut. (Noer Syam, 2010).
Dalam hal penutupan Dolly,alangkah bijaknya sebelum melakukan penutupan, pihak pemangku kepentingan melakukan proses pemetaan terhadap semua pihak yang berkait kelindan dengannya. Mana di antara mereka yang hendak mentas dari dunia lendir tersebut, mana yang masih kekeuh berada di jalur itu. Hal ini penting dilakukan karena berkaitan dengan pilihan hidup seseorang yang siapapun tidak bisa menekan, mengintimidasi dan memaksa agar orang tersebut mengikuti apa pilihan kita.
Menggeneralisir semua pihak di Dolly agar menutup ‘dagangan’nya tentu akan mengakibatkan efek sosial yang tak kalah hebat nantinya. Mereka yang melakukan penolakan tentunya akan berkeliaran di jalan-jalan kota Surabaya hingga melakukan praktik prostitusi terselubung. Bukan rahasia lagi bila hingga saat ini masih banyak bertebaran prostitusi-prostitusi terselubung yang berkedok panti pijat, salon bahkan tempat hiburan karaoke sekalipun.