Lihat ke Halaman Asli

Tanggapan atas Tulisan “Menggagas Kongres HMI Berkualitas dan Berintegritas”

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

……Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kubuka tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangatlah mengasyikkan…..

Demikianlah secuil catatan harian Ahmad Wahib yang ditulis pada 6 Oktober 1969 dalam bukunya yang sangat dikenal oleh aktivis HMI, Pergolakan Pemikiran Islam. Sedikit banyak, dari Wahib-lah, selain juga Cak Nur, anak HMI banyak belajar untuk melakukan pembacaan terkait sebuah persoalan secara kontekstual. Wahib, sebagaimana dikatakan oleh Sunlie Thomas Alexander, menuntun siapapun untuk mau melakukan tafisr atas sesuatu apapun secara terus menerus dengan melakukan tambal sulam atas retakan gugusan gagasannya (Lih. Pembaharuan Tanpa Apologia : Esai-Esai Tentang Ahmad Wahib).

Dari itulah, HMI dapatlah diibaratkan sebagai sebuah tubuh yang ditutupi oleh selembar kain bernama kemegahan. Dan kemegahan itu satu persatu dipreteli oleh Nurida Abadiah lewat tulisannya tersebut. Ia seakan-akan ingin mengajak semua kader HMI untuk melihat kembali wajah HMI yang bopeng sebelah. Bagi Nurida, usia 68 tahun tidaklah bisa dijadikan tolok ukur kedewasaan sebuah organisasi. Namun menurutnya, kedewasaan itu bisa dilihat dari bagaimana proses pemilihan pimpinan tertingginya.

Dari tiga prasyarat dan indicator yang diajukan olehnya terkait kongres yang berkualitas dan berintegritas, poin ketiga adalah poin yang sangatlah subyektif. Bagaimana mungkin, organisasi sebesar HMI menjadikan syarat untuk maju menjadi kandidat Ketum PB, haruslah yang pernah menjabat sebagai Ketum Cabang/Badko atau minimal pernah menjabat sebagai Ketua Bidang di PB pada periode sebelumnya. Syarat yang demikian jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang diusung oleh Nurcholish Madjid. Meskipun tak bisa dipungkiri, banyak Ketua Umum PB HMI yang sebelumnya pernah mencicipi pengalaman sebagai Ketua Umum Cabang. Bisa disebut di sini, Cak Nur, Ridwan Saidi, Akbar Tanjung, Harry Azhar Aziz, Ferry Mursidan Baldan, Hasanudin, Arif Mustofa, Fajar Zulkarnaen, Fahrudin, dan Alm. Herman Widyananda.

Namun menjadikan alasan itu untuk mencegah tampilnya calon yang lain bukanlah solusi cerdas, justru dengan demikian menampakkan kerdilnya pemahaman kader HMI akan demokrasi. Cak Nur menuturkan adanya beberapa nilai atau norma dalam demokrasi. Pertama, adanya kesadaran akan kemajemukan. Dalam tubuh HMI ada puluhan, ratusan bahkan ribuan kader yang memiliki isi kepala yang berbeda. Perbedaan ini tidaklah lantas menjadikan HMI harus mengalami perpecahan karenanya. Justru perbedaan tersebutlah seharusnya dijadikan perekat segala unsur yang ada di dalamnya.  Sebab bagi Cak Nur, salah satu ciri yang menonjol di Indonesia ini adalah keanekaragaman, baik secara fisik, pemikiran, social dan budaya (Lih. Cak Nur Sang Guru Bangsa, Muhammad Wahyuni Nafis, 226)

Kedua, adanya musyawarah. Keputusan yang diambil melalui forum musyawarah ini bersifat mengikat bagi siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut. Ketiga, adanya unsur permufakatan. Dalam artian  setiap keputusan yang hendak diambil haruslah dengan cara yang baik serta tidak diperkenankan adanya rekayasa dalam hal tersebut. Demikianlah sebagian dari nilai-nilai demokrasi yang dipaparkan oleh Cak Nur dan selayaknya dijalankan oleh segenap kader HMI di manapun berada.

Kongres adalah forum pengambilan keputusan tertinggi di dalam organisasi dan rentan terjadinya jual beli suara seperti yang disampaikan Nurida dalam tulisannya. Prilaku mereka yang terlibat dalam proses jual beli suara justru sebenarnya mencederai tatanan demokrasi yang telah lama dibangun oleh Cak Nur. Sepengetahuan saya saat berada di arena kongres dua tahun lalu, pada akhirnya aku mengakui apa yang dikatakan oleh Cak Nur dalam bukunya yang berjudul “Pintu-Pintu Menuju Tuhan”. Di dalam buku tersebut Cak Nur  menuturkan bahwa “berbicara demokrasi di Indonesia ibarat berkunjung ke rumah antik”. Nah, apakah demikian pulla yang terjadi di HMI?

Tentu kita semua  jenuh bila melihat keadaan tiap pelaksanaan kongres HMI selalu disertai dengan tindakan barbar dan vandalisme. Dan itu dilakukan bahkan di dalam forum persidangan. Yang lebih mengherankan lagi adalah celetukan sebagian kader HMI yang menyatakan “kalau nggak ngelempar kursi dan meja, bukanlah HMI”.. Mungkin karena prilaku barbar yang demikian sudah menjadi tradisi dan mendarah daging, pada akhirnya memotong kans atau peluang salah satu kandidat untuk maju, dibenarkan pula.

Terakhir, demokrasi tetaplah harus diberi ruang dalam organisasi ini saat kongres nantinya, dan itu harus diimbangi dengan memberikan informasi yang benar terkait rekam jejak para kandidat. Biarlah utusan kongres yang menentukan siapa yang akan memimpin organisasi ini kelak. Sebab dengan demikian, demokrasi akan memberikan aturan permainan politik yang terbuka dan transparan (Lih. Cak Nur, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi,70). Dari sanalah, kita semua bisa belajar bagaimana menjalani demokrasi dengan sebenarnya. Kita semua tetap berharap Kongres berjalan dengan baik, berkualitas dan berintegritas pula. Jayalah HMI!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline