Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rasyid Ridho

Mengabdi di Pondok Pesantren Al-Ishlah. Suka membaca dan menulis. Suka mengajak orang baca buku dan menulis. Suka jualan buku. Menulis banyak tulisan di media massa cetak ataupun online. Telah menulis belasan buku antologi dan satu buku solo kumpulan puisi "Kita Adalah Cinta."

Kami Menghabiskan Malam Minggu

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Anak muda zaman sekarang biasa menghabiskan malam minggunya berdua dengan pacarnya. Mungkin bisa dikatakan tak afdhol bagi mereka jika tak berkencan (bahasa mereka) dengan pacar di malam minggu. Lain orang, pun lain sikap dan laku dalam menjalani hidup sesuai dengan tuntunan serta visi misi hidupnya di dunia.
Kami memang beda, bagaimana tidak? Kami telah lama belajar ilmu agama, memahami dan menelaahnya sepanjang hari. Sebagai santri, yang telah banyak banyak menempa hidup dengan ilmu agama, maka seharusnyalah kami tak hanya puas menghabiskan waktu hanya untuk menuntut ilmu, namun sekaligus menjalani hidup dengan mengamalkan apa yang telah diketahui. Dalam ilmu yang kami pelajari, Islam hanya membolehkan berdua dengan lawan jenis (khalwat) dengan yang telah sah menjadi pasangan hidupnya dengan pernikahan.

Malam minggu bagi kami, malam untuk terus melanjutkan perjuangan meraih mimpi dan asa, dunia dan surga. Pada suatu malam minggu, kami yang bergabung dalam KALAM (Komunitas Alumni Santri Pondok Pesantren Al-Ishlah Bondowoso di Malang) bukan menghabiskan dengan pasangan tak halal, tapi meluncur menembus dingin malam untuk takziyah ke seorang mahasiswa yang kuliah di STIT pondok almamater tercinta yang ibunya meninggal malam sabtunya.

Kami tidak sempat melakukan hak kami pada keluarga duka, yakni prosesi dari awal muslim meninggal sampai dikuburkan karena kesibukan masing-masing di kampus. Akhirnya, kami menyetujui untuk datang pada malam harinya saja, karena semua free ketimbang tidak datang sama sekali. Saya, tiga kakak kelas di pondok (Mu’in, Muthoin, dan Sukardi), dan 4 adik kelas saya di pondok (Ajun, Munahar, Hanif dan Udin) menembus dinginnya malam hanya memakai 3 sepeda, sedikit nekat memang.

Setelah sampai di tempat tujuan, kami semua langsung mengucapkan turut berbela sungkawa yang dikomandoi oleh ketua rombongan, Kak Mu’in. Tahu kami datang, anak ibu yang meninggal pun menyambut kami dengan senyum tak terpaksa namun jelas ada bekas air mata duka di pelupuk matanya. Kami masuk ke ruang tamu dan duduk dengan alas karpet. Di sana juga masih banyak kerabat keluarga duka.

Kematian selalu mengingatkan tentang kepastian tenggat waktu hidup kita di dunia yang masih misteri. Anak almarhumah mengatakan, ibunya baru sehari di rumah sakit namun dengan segera meninggalkan dia dan keluarga. Ada rasa sedih tak terkira, jika ditinggal orang tercinta. Terutama belum mampu melunaskan bakti kita menghadiahkan permintaannya selama dia masih hidup. Sehingga menorehkan sesal yang mendalam.

Ada banyak hal yang kami dapatkan dalam malam takziyah sekaligus silaturahmi malam itu. Semakin mengingat bayang-bayang kematian yang selalu mengintai, kasih sayang ibu dan kewajiban kita berbakti padanya. dan termasuk hal yang paling enak menjadi guru ternyata terlihat ketika meninggal. Cukup dengan fasilitas jejaring sosial, maka hampir semua murid almarhumah dari berbeda angkatan datang untuk takziyah bahkan turut membantu keluarga duka. Maka bukan dusta, bahwasanya segala perintah Allah akan memberikan kebaikan dan hikmah baik yang tersurat dan tersirat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline