ia duduk di sana
di pinggir jalanan sesak
ketika deru roda serupa
napas kota yang tersengal
selembar resah lelah terkapar
di rongga dadanya yang tipis
bertanya remah-remah tersisa
di antara timbunan sampah
simak asanya, matahari haru
tumpah sinarnya berwarna biru,
namun deru roda riuh mencumbu kota,
do'a pemulung tua menguap di langitnya
bila senja mulai merona
ia menjadi jingga di ujung hari
tenggelam ke dalam kelam
di suatu negeri berhawa sunyi
dalam gigilnya, pemulung tua bertahan
memaksa diri bagai patung kota teguh berdiri
o, engkau cendawan peradaban!
harapkan kotamu ingat nasibmu ini
jika mampu, kuingin usap dahimu
tapi peluhmu terburu mengering
sekering takdirmu yang terasing,
pungut remah rezeki di negeri sendiri.
sungguh engkau adalah pesan
tentang ide keadilan yang usang:
siapa bilang kemakmuran bisa merata
dapat dijangkau mereka yang jelata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H