Sewaktu kita mengalami sebuah peristiwa tertentu, ada kecenderungan dalam diri kita untuk berupaya memahaminya. Kita berusaha mengerti peristiwa itu dengan jalan menyelidiki hukum sebab-akibat dalam rangka mendapat kejelasan: mengapa ini bisa terjadi, bagaimana awal-mula proses terjadinya. Upaya ini lazimnya bertujuan untuk menemukan penjelasan logis pada jalinan antar kejadian yang melatarbelakanginya, sehingga kita dapat menerimanya secara akal sehat atau menyatakannya sebagai “sesuatu yang wajar.” Kita ingin mendapat kesimpulan akhir yang dapat memuaskan rasa penasaran supaya tak lagi mengalami ketegangan (suspense).
Lain cerita ketika berhadapan dengan peristiwa yang menyimpan teka-teki, memancing rasa keheranan, bertentangan dengan pertimbangan akal-sehat atau irrasional, kita pun mengkategorikannya secara khusus dengan pemberian kata sifat misterius.
Mungkin contoh tepatnya seperti kejadian yang menimpa seseorang berbadan sehat, setelah diperiksa dengan ilmu kedokteran sama sekali tak ditemukan penyakit; tiba-tiba ia terkulai dan hidupnya langsung berakhir secara dramatis. Orang-orang pun langsung heran, dan diri mereka berada di sebuah wilayah ambang dimana segala sesuatu untuk menjelaskan penyebab kematian orang itu tak bisa ditemukan. Lalu, dengan rasa penasaran yang masih menggelayuti benaknya, mereka berkata: ”Kematiannya benar-benar misteri!”
Ya, demikianlah kiranya tentang beberapa peristiwa dalam kehidupan kita itu ada kekuatan misterius yang sama sekali tak mampu dijangkau oleh nalar. Secara naluriah kita pun dapat mengerti bahwa kekuatan akal-budi ternyata memiliki batas. Namun, apabila kita masih ingin memahami mengapa beberapa peristiwa seperti kematian itu bersifat misterius; maka kita pun berupaya mendapat penjelasannya melalui penglihatan ”mata hati”.
Dalam hal ini Lailatul Kiptiyah, penyair relijius melalui puisinya yang sejuk menjelaskan dengan jernih bahwa sesuatu yang misterius termasuk kematian adalah batas waktu dari keberadaan entitas untuk mengejawantah. Ada kekuatan di luar kemampuan insani untuk menunda dan membatalkan kehadiran hal yang misterius itu; karena memang berada jauh dari jangkauan manusia untuk dijadikan sasaran tembak peluru akal-pikirannya yang tajam namun mesti ia alami. Mari simak puisi beliau ini:
Pada Suatu Musim
Kelak kita serupa daun-daun kering
terpisah dari ranting
Sendiri merebah
berpulang pada tanah
Puisi yang sarat nilai filosofi relijius ini sangat menarik dengan mengambil tema hal / sesuatu yang datang tak disangka-sangka yakni ajal. Kejadian tertentu yang menyajikan nuansa misterius tetapi dikonstruksikan dengan bangunan logika yang dapat dipertanggung-jawabkan, sehingga menjelaskan mengapa ”hal / sesuatu” yang disampaikan oleh aku-lirik puisi bisa terjadi.
Judul puisi ”Pada Suatu Musim” mengandung metafor yang secara tersirat melambangkan pengertian latar waktu yang menjadi ”momentum” peristiwa tak terduga dalam bait pertama dan kedua.
Baris pertama dan kedua dari puisinya berbunyi: