Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ichsan

Menyukai seni sastra, sosial dan budaya

Stigmatisasi dan Citra Diri

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1392473873807407205

Citra diri (self-image) lebih erat berkaitan dengan cara pandang seseorang. Citra diri yang positif tentu saja meningkatkan rasa percaya diri, potensi diri pun akhirnya bisa dikembangkan secara maksimal. Bahkan orang lebih menghargai dirinya dan berupaya meningkatkan keterampilan apapun yang dapat mendongkrak nilai kepribadiannya (baca: harga diri).Dalam upaya ini, cara pandang realistis dengan dorongan sikap positif terhadap penilaian diri sendiri dan dunia luar (lingkungan tempat berinteraksi) dapat membantu seseorang secara efektif.

Salah satu faktor cukup penting menentukan sikap individual seseorang dalam memandang rendah dirinya sendiri adalah  kesalahan masa lalu yang membekas. Biasanya orang dengan masa lalu kelam menjadi “hakim yang paling galak” terhadap dirinya sendiri. Ia percaya kesalahannya yang lampau memberikan akibat sepadan dengan apa yang dialaminya saat sekarang, seolah-olah “derita masa kini adalah pahala dari perbuatannya yang lalu”. Citra diri yang diciptakannya tentu saja begitu buruk. Alhasil, orang lain pun mengikuti cara pandang rendah terhadap dirinya itu dengan sedikit penyesuaian yang perlu.

Ambillah sebagai contoh, si – A harus menggembleng dirinya dengan mengikuti pendidikan hampir 5 tahun yang berkesan di sebuah lembaga pemasyarakatan karena kasus narkoba. Begitu masa hukumannya berakhir, ia pun keluar dari lembaga pendidikan bergengsi tersebut dengan segenap kesan dan penghayatan mendalam akan kesalahan yang diperbuatnya dulu. Ia melakukan sebuah upaya penyerapan diri (bahwa dirinya adalah seorang yang pernah dipenjara). Ada stigmatisasi diri yang diciptakan. Sebuah pelabelan yang melihat kualitas dirinya sebagai “barang rusak” yang tak layak guna. Akibatnya, ia minder ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya terdekat. Ia mengalami krisis rasa percaya diri yang membuatnya takut terhadap tanggapan negatif orang lain tentang dirinya sebagai “mantan orang hukuman”. Citra diri rendah menghantui sikap dan perbuatannya. Ditambah pula dengan pandangan orang-orang terdekat yang cenderung meremehkan kian membuat dirinya menarik diri.

Di lain kasus, misalnya si – B yang memiliki pengalaman berumah-tangga cukup menakjubkan. Perceraiannya dengan suaminya dulu sungguh disebabkan oleh godaan petualangan cinta, yang membuatnya nekat menjalin “asmara remang-remang” dengan lelaki idaman lain. Bahtera rumah-tangganya pun akhirnya tak bisa diselamatkan. Ia berpisah dengan sang suami, membulatkan tekad tak mau melibatkan diri dengan ikatan perkawinan yang dipandangnya cukup membelenggu kebebasan itu. Pengalaman traumatisnya memberikan sebuah saran teramat bijak. Saking bijaksananya saran tersebut, ia kini menjalani kehidupan bebas yang membuatnya tak bisa mengontrol diri sendiri. Berpindah dari satu pelukan lelaki ke pelukan lelaki lainnya lagi. Stigmatisasi yang diciptakannya sendiri adalah dirinya seorang yang nista berkepribadian rusak, lalu dibuktikannya dengan sikap dan perbuatan buruk pula. Orang lain pun akhirnya melihat dirinya itu dengan cara yang sama.

Masa lalu kelam menyebabkan seorang individu melakukan penyerapan diri. Ada bisikan-bisikan yang menghasut dirinya bahwa ia tak bisa lepas dari berbuat salah. Sikap menghormati diri sendiri pun akhirnya berkurang bahkan cenderung menghakimi dengan vonis citra diri negatif. Sungguh ironis, bukan?

Padahal seburuk apapun perbuatan seseorang tetap saja tersisa hal yang baik di dalam dirinya. Sikap dan perbuatan buruk dilakukan memang membuat orang bercitra diri negatif dan rendah. Sekalipun demikian, jika orang tersebut mau memaafkan dirinya sendiri, tindakan buruk di masa lalu tak perlu menjajah alam jiwanya. Lantas mengapa harus menjadi seorang pendendam terhadap diri sendiri? Bagaimana cara mengatasi kenangan traumatis yang menjajah seorang individu sehingga membuatnya berprilaku buruk dan mengakibatkan rendahnya citra diri? Mari simak sejumlah tips yang mungkin dapat membantu.

Hilangkan Stigmatisasi Negatif

Stigmatisasi negatif karena masa lalu kelam terhadap diri sendiri dalam wujud suara dari dalam (self-internal voice) cenderung membisiki seorang individu agar berpikir negatif. Ia cenderung sulit merubah cara pandangnya terhadap diri sendiri jika masih mendengarkan pelabelan diri teramat buruk tersebut. Jalan termudah untuk terhindar dari hasutan ini adalah dengan mengabaikannya. Selanjutnya, tanamkan dalam benak dan diri pikiran positif tapi realistis:

”Hidup saya amat berharga untuk disia-siakan. Ya, saya pernah berbuat salah. Tapi, itu bukan berarti saya harus hidup dalam beban berat kesalahan masa lalu. Saya harus bangkit dan merubah diri saya menjadi lebih baik saat ini.”

Menghilangkan stigmatisasi negatif merupakan cara membangunkan kesadaran diri, memutus ingatan buruk (pengalaman traumatis berbuat salah di masa lalu) agar bisa berpikir positif. Pengabaian hasutan dari dalam bermaksud untuk memulai perubahan cara pandang untuk memberikan konsep diri yang lebih positif. Hal ini membantu seorang individu ketika mengatasi hambatan internal agar dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya dan menanggapi keadaan di sekitar (termasuk keusilan ucapan orang-orang yang membuat diri minder) dengan lebih bijak. Memberi keyakinan pada diri sendiri bahwa ia bagai ”mutiara yang akan tetap berkilau sekalipun pernah mendekam di lumpur hitam.

Hindari Dramatisasi yang Tak Perlu

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline