Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Fadly M

Rakyat Jelata

Krisis Moral? Tolong Jangan Salahkan Kami!

Diperbarui: 6 Januari 2019   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumsel.tribunnews.com

Generasi anak bangsa adalah cerminan sikap bagi keberlangsungan bangsanya, krisis moral yang dialami bangsa kini merupakan hasil dari proses meniru dan menciplak kebiasaan yang sudah jauh dari adat kebiasaan orang Indonesia yang dikenal dengan sopan santun dan tatakrama, kesulitan mendidik seorang anak di lingkungan keluarga akan mengkhawatirkan, lalu masuk dalam lingkungan sekolah seorang anak sulit ditata maka itu musibah dan ketika seorang anak bergaul di lingkungan bermainnya hingga membentuk perilaku yang 'ekstrim' maka seketika itu seorang anak seperti 'dibuang' oleh negaranya.

Setiap hari bahkan layar media dihiasi oleh lakuan aneh dari moral anak hari ini, pemberitaan mendorong kekhawatiran hingga masih banyak diantara kita pasif saja dari ancaman ini, kehidupan sejatinya proses transformasi sosial antara seperangkat makhluk sosial dengan autentik peradaban.

Polarisasi budaya dan peradaban dunia telah menimbulkan prasangka dan stereotip yang sering kali menimbulkan konflik (Samuel P. Huntingtong), jauh sebelumnya pembiaran atas aksi anak bangsa tidak terdidik dikarenakan peran keluarga sebagai rumah pertama yang menanamkan prinsip-prinsip moral seperti kata Martin Heidegger "bahasa adalah rumah ada" dalam bukunya being and time, sebuah keluarga kini hari-harinya di lucuti modernisasi hingga melupakan momen mewah dalam mendidik dan mengawasi tumbuh kembang anak. Inilah kebebalan yang merampas waktu untuk bersama, tertawa, berbincang, dan berpelukan lantas hal itu dianggap lalu saja tidak mengubah kebiasaan dan keadaan.  

Ironi memang melihat lakuan anak bangsa sejauh ini, dalam kasus guru yang tewas di aniaya muridnya hanya persoalan si murid tidak mau memperhatikan saat proses belajar mengajar berlangsung dan asik mengganggu temannya, guru pun menegurnya namun hal tersebut tidak diterima si murid lantas saja keributan pecah, tribunnews.com.

Sepatutnya sekolah adalah wadah pendidikan hingga menghasilkan manusia-manusia terdidik, hal ini mungkin beriringan seperti yang diungkapkan salah satu ulama pondok pesantren Ummul Mukminin KH. Jalaluddin Sanusi "jika anak itu terbuat dari emas maka dia akan tetap emas, jika anak itu terbuat dari perak maka dia akan tetap jadi perak, dan jika anak itu terbuat dari besi berkarat maka jangan bermimpi dia akan jadi emas" fungsi pesantren hanya bisa menjadikan emas dan perak jadi perhiasan, bukan merubah besi jadi emas.

Di tubuh keluarga, sebelum dituai oleh serangan modernisme yang tidak bertanggungjawab hingga mewariskan kapitalisme, konsumerisme, dan individualisme yang menghilangkan masa kanak-kanak dan melunturkan ketulusan, kepolosan, dan keluguan hingga merenggut tawa, bermain, bermimpi anak karena hal itu adalah kelangkaan dan tidak dapat dinikmati sebagai anak-anak Indonesia. 

Anak sekarang ini dengan usaha agar terlihat berpenampilan dan berperilaku seperti layaknya 'anak muda jaman sekarang' yang tanpa disadari mencederai tingkahnya sebagai seorang anak, merenung bukan langkah baik untuk mengawali kondisi ini tetapi sebuah tindakan preventif guna mengembalikan senyum polos seorang anak yang menjadi titik tumpu harapan bangsa jauh dari unsur rusaknya moral bangsa. Mengajak untuk bermain, bercerita, dan mendengarkan keluh kesahnya dapat dijadikan sebuah langkah dini setidaknya memperlihatkan kita ada untuk mereka.

Masa depan keluarga ada ditangan generasinya, pendidikan agama di usia dini cukup berhasil dalam menakar kezaliman modernisasi melihat moral anak untuk mengingatkannya5 terhadap lakuan yang mendidik etika sopan santun hingga mampu menghargai dan menghormati orang jauh lebih tua darinya, orang tua jua lah yang harus menjaga buah hatinya agar terhindar dari 'predator anak' yang masih hidup disekeliling kita "jagalah anakmu karena ia adalah amanah Tuhan" demikian sepenggal kalimat yang sering diperdengarkan ditelinga kita. Dan tidak semua perempuan di dunia ini dipercayakan untuk merawat amanah Tuhan itu hanya mereka yang di anugerahi, dan betapa tidak bersyukurnya sebuah keluarga jika sampai hati menelantarkan seorang anak didiklah anakmu dari buaian hingga ke liang lahat betapa amat berharga mendidik seorang anak hingga mampu sukses menjaga amanah agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.

Keberlangsungan masa depan hari ini ada diantara cita-cita dan mimpi dari generasi abad 21yang menggenggam dunia dengan tekhnologi ditangannya, bukannya menjadi mellow dan ataukah senang dengan aktifitas aplikasi gamenya, bukan bermaksud menyindir. Tapi kita lupa berpikir sudah sejauh mana kita bertindak untuk menjadi berguna bagi orang lain dari segala kelebihan yang kita punya. Tetapi kita masih saja bertanya apa yang akan saya lakukan hari ini. Karena hari ini semua hanya memikirkan dirinya sendiri.

Seharusnya tidak mesti setiap kali pemberitaan kasus anak harus diperbincangkan di media sosial dengan begitu intensnya hingga menyudutkan anak walaupun anak adalah pelaku atau korban, karena perbedaan psikis anak jauh berbeda dari orang dewasa dan memiliki kemampuan menyimpan perkataan yang diperdengarkan dan berakibat pada mental psikologi .

Jadi hidup yang tak dihayati, dipikirkan, dan direnungkan adalah hidup yang tak layak dijalani (Socrates), jangan memasukkan modernisme pada modernisasi agar tidak sakartis. Kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja tergantung sejauh apa orang di sekeliling mengingatkan hal-hal baik. Anak adalah usia rentan yang harus dijaga dan dididik agar dapat menjadi cikal baik, krisis moral yang dilanda oleh bangsa ini harus dimatikan dengan mengambil peran keluarga, sekolah, dan lingkungan bermain melalui pendekatan agama dan kasih sayang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline