Alarm peringatan bencana resesi global di tahun 2023 telah dinyalakan oleh WTO,World Bank OECD, beserta IMF selaku organisasi internasional yang mengurusi masalah moneter dan perekonoman dunia. Berdasarkan penelitian dari keempat organisasi tersebut dengan mempertimbangkan keberlanjutan krisis Ukraina, bencana cuaca ektrem, dan pandemi covid 19, diperidiksi bahwa pada tahun 2023, pertumbuhan ekonomi akan stuck di angka 2,3 % - 3 %. Pelambatan pertumbuhan ini akan diiringi dengan lonjakan inflasi, kenaikan harga pangan, terhambatnnya pasokan energi dan meroketnya harga minyak bumi.
Sebagai informasi awal, tulisan ini tidak menyinggung tentang bagaimana respon dan seperti apa peran negara/organisasi internasional dalam menghadapi ancaman resesi tersebut karena sejauh yang saya lihat di kolom finansial kompasiana sendiri, telah banyak kompasianer yang membahas persoalan resesi ini berikut mitigasi nya. Oleh karena itu, saya berniat untuk membuat tulisan baru yang lebih bersifat menerawang atau memprediksi tentang bagaiamana kondisi perekonomian negara kita tercinta di tengah amukan badai resesi tahun 2023.
Indonesia mencatatkan pertumbuhan di angka 5,4 % pada kuartal II tahun 2022, hal ini memang menandakan tren positif perkembangan ekonomi yang sempat mandek akibat pandemi Covid 19. Namun, krisis moneter dan ekonomi yang sedang terjadi di negara maju seperti Inggris, AS, dan negara Uni Eroa lainnya secara tidak langsung akan memengaruhi perekonomian Indonesia terkait dengan turunnya volume ekspor sebagai akibat dari permintaan yang turun (efek trade channel) dan pada akhirnya hal ini melemahkan harga komoditas barang ekspor (slowdown).
Selain pelemahan pada rantai ekspor, efek lain yang akan dirasakan Indonesia berupa penguatan suku bunga dollar atau lebih dikenal dengan istilah strong dollar. Dalam upaya memerangi inflasi yang terjadi, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 75 Bps. Penguatan nilai dollar diyakini akan berdampak buruk pada perusahaan -- perusahaan di Indonesia yang menggunakan dollar sebagai nilai utang. Penguatan mata uang Amerika tersebut akan menilmbulkan efek balance sheet dengan dasar terjadinya peningkatan beban utang dan turunnya porsi investasi di dalam negeri.
Namun, satu hal yang perlu untuk diketahui, dikarenakan perlambatan ekonomi lebih disebabkan oleh penurunan volume ekspor, hal ini menjadikan Indonesia sedikit lebih aman dari guncangan resesi tahun 2023. Prediksi ini saya dasari pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor 'hanya' berkontribusi sebesar 23,2% untuk produk domestik bruto (PDB) nasional pada kuartal II-2022 jika dibandingkan dengan nilai sumbangan dari sektor konsumsi rumah tangga domestik (domestic demand) dan investasi yang mencapai 56 % dan 29% untuk PDB. Perbedaan kontribusi antara ekspor dengan nilai domestic demand mempunyai makna bahwa dampak resesi global yang diperkirakan tahun 2023 tidak akan sampai menghancurkan ekonomi Indonesia, namun hanya mengalami melambatkan pertumbuhan (slowdown). Hal ini didukung pada fakta laporan dari Asian Develoment Bank (ADB) The Evolution of Indonesia's participation in Global Value Chains yang menyebutkan partisipasi Indonesia dalam rantai ekspor global cenderung rendah karena Indonesia lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan domestik daripada kegiatan ekspor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H