Keunikan dan keistemawaan Al-quran dari sisi bahasa adalah mukjizat pertama yang di tunjukkan kepada bangsa arab, bukan dari segi isyarat ilmiah dan pemberitaan ghaibnya karena akal manusia pada zaman itu belum mampu untuk mencapainya. Begitulah Alquran Ia selalu hadir sebagai cahaya di setiap zamannya, masyarakat arab 15 abad yanag lalu dengan lingustik sebagai masterpiece pada zamannya ditantang untuk membuat yang semisal darinya (Alquran), sungguh menakjubkan karena tidak ada satupun masyarakat arab yang mampu untuk membuat yang semisal. Sebagaimana yang diutarakanoleh Abu Sulaiman Ahmad bin Muhammad bahwa keindahan susunan lafaz alquran dan ketetapan maknanya, menunjukan bahwa Al-quran adalah mukjizat yang tidak akan tertandingi oleh zaman, Hari berganti hari, zamanpun menuju puncak peradaban dengan sains mejadi pedoman dan Alquran kembali hadir sebagai cahaya dengan isyarat-isyarat sains didalamnya, inilah Alquran kitab suci yang tak akan lekang oleh zaman.
Sebagai kitab suci ummat islam, Alquran menjadi titik sentral dalam pengembangan ilmu pengetahuan, tentu saja ini tidak lepas dari perintah Alquran itu sendiri, iqro' ayat pertama yang selalu mejadi spirit ummat dalam berproses dan berkembang, di era kontemporer cendekiawan muslim telah banyak melakukan interpertasi pendeketan ilmiah terhadap Alquran, Amin al-khuli dan bint Syathi dengan pendekatan kebahsaan menyusul dengan pendekatan Hermeneutik linguistic oleh Nasr Hamid Abu Zaid dan fazlur Rahman.
Baru-baru ini muncul pendekatan terhadap ayat-ayat Alquran dengan analisis retorika semit oleh Michel Cuypers. Kemunculan retorika semit ini tidak lepas dari orientasi yang bersebrangan dalam menilai kesatuan dan keselarasan Alquran, ini dapat dilihat dari hasil kajian para orientalis yang menilai bahwa struktur kebahasaan dalam Alquran haruslah direkonstruksi ulang agar sesuai dengan logika, sebut saja Theodor Noldeke pelopor aliran kritik sejarah Alquran, ia menilai bahwa Alquran mengandung disentegrasi karena berpindah dari topik satu ke topik lain yang berbeda atau bahkan tidak kembali sama sekali.
Analisis retorika semit ini digunakan sebagai pendekatan terhadap teks-teks Taurat dan Injil hingga kemudian digunakan untuk meneliti hadist-hadist nabi SAW. Barulah pada abad ke 20 analisis retorika semit digunakan untuk meneliti Alquran yang dipelopori oleh Michel Cuypers, analisis retoriak semit berperan besar dalam mengoreksi hipotesa yang keliru dari para pemikir orientais dalam memahami struktur ayat-ayat dalam Alquran yang dalam pandanagn mereka alquran haruslah direkonstruksi ulang agar lebih menyatu dan koheren menurut mereka. Michel Cuyper yang mengkaji Alquran melalui retorika semit justru mengkritik upaya pengurutan kemabali ayat-ayat quran yang dilakukan oleh para orientalis, ia beranggapan bahwa mereka terlalu memaksakan retorika yang berbeda dengan retorika yang diturunkan bersamaan dengannya.
Pada awalnya analisis retorika yang digunakan dalam kitab suci disebut "Retorika Ibrani" karena tujuan analisis yang digunakan adalah untuk memahami teks perjanjian lama. Belakangan, istilah tersebut diubah menjadi "Retorika Alkitab", karena ternyata analisis serupa bisa diarahkan pada teks Perjanjian Baru, meski ditulis dalam bahasa Yunani. Para pengamat kemudian melakukan penelitian lebih lanjut dan menemukan bahwa struktur teks yang dapat dikaji dengan menggunakan analisis tersebut adalah struktur teks yang terdapat pada teks tiga agama besar yaitu Yudaisme, Kristen, dan Katolik. Oleh karena itu, harapannya analisis retorika semit dapat menjadi jembatan dalam menyatukan ummat beragama dari jurang perpecahan melalui penguatan bersama dalam kitab suci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H