Dalam agama Islam Pernikahan merupakan sunnat nabi Muhammad yang berlaku secara umum, agar dengan pernikahan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya. Berbicara mengenai pernikahan sejati pada prinsipnya akan berbicara tentang pilihan pasangan hidup yang benar-benar dari hati yang paling tulus walaupun dalam pemilihan itu banyak terjadi tantangan akan tetapi bagi mereka yang telah benar-benar yakin adalah mereka yang ingin segera meresmikan ikatan itu dalam ikatan pernikahan yang sah dimata agama dan Negara. Selain harus siap berkonflik dengan keluarga, pasangan berbeda agama juga perlu mendiskusikan agama apa yang kelak diajarkan kepada anak.
Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda agama nya bukanlah hal yang sederhana di negara kita Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati pun berbelit. Tak heran jika banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih menikah di luar negeri. Pasangan yang memutuskan menikah di luar negeri nantinya akan mendapatkan akta pernikahan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI). Sepulangnya ke Indonesia, mereka dapat mencatatkan pernikahannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Pernikahan Luar Negeri.
Secara etimologi, pernikahan berarti persetubuhan. Ada pula yang mengartikannya perjanjian (al-Aqdu). Dan juga pernikahan adalah percampuran, penyelarasan, atau ikatan. Jika dikatakan, bahwa sesuatu dinikahkan dengan sesuatu yang lain maka bearti keduanya saling diikatkan. Secara terminologi, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.
Pada Tahun 1980, sebanyak 24677 pasangan di Indonesia melakukan pernikahan beda agama. Selanjutnya pada tahun 1990, sebanyak 26688 pasangan di Indonesia melakukan hal yang demikian. Serta hasil terbaru yang ditemukan oleh penulis, pada tahun 2000, 2673 pasangan didata sebagai pihak yang melakukan pernikahan beda agama.
Kendati data tersebut menunjukkan penurunan, namun dalam interval sepuluh tahun,dataselalumenunjukkan adanya pernikahan beda agama yang berlangsung. Sehingga penulis melakukan kesimpulan awal, bahwa di Indonesia yang merupakan Negara penuh keragaman termasuk agama terdapat pernikahan beda agama, tak terkecuali diantara orang Islam sendiri dengan orang di luar Islam.
Dengan terjadinya dinamika sosial tersebut, disertai adanya pertanyaan masyarakat tentang kebolehannya, para ulama yang tergabung dalam majelis ulama Indonesia kemudian berusaha memberikan dalil agama untuk memberikan kepastian hukum terhadap kasus ini. Dalam fatwanya, MUI menyatakan dengan bernbagai landasan dalil bahwa pernikahan beda agama adalah haram sama sekali5, yang padahal bertentangan dengan jumhur ulama.
Dari berbagai kondisi sosial yang ada, serta faktor yuridis dan filosofis tentang keberadan pernikahan beda agama yang ternyata setelah ditinjau lebih mendalam memiliki banyak kekosongan pemikiran, baik dalam pertentangan antara konsepsi HAM dalam kasus ini, bahkan hingga perbedaan pendapat para ulama, melandasi penulis untuk melakukan kajian terhadap judul ini. Dengan adanya pembahasan ini, nantinya kita dapat mengetahui apakah dalam Islam diperbolehkan atau tidak menikah dengan non Islam.
Nikah dalam dalam Bahasa Arab bermakna (al-wath'u) yakni bersetubuh/berhubungan intim atau juga bisa bermakna penyambungan atau penghubungan. Sementara menurut kamus munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama.
Nikah secara Terminologi di kalangan ulama ushul berkembang dua macam pendapat tentang arti lafaz nikah,yaitu:
- Nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi.
- Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh, demikian menurut ahli ushul golongan Syafi'iyah.
Meski pendapat diatas mengemukakan bahwa pada dasarnya pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan laki- laki hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan atau merupakan sesuatu yang hanya berurusan dengan duniawi saja, akan tetapi pernikahan dalam Islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis semata, melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan teologis. Karena didalam pernikahan, terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak, masyarakat bahkan kepada Allah.
Hukum pernikahan menurut jumhur ulama' adalah sunnah, sementara menurut pendapat sebagian besar pengikut Maliki menyatakan bahwa hukum pernikahan sunnah, sementara sebagian yang lain menyatakan wajib dan sebagian lain menyatakan mubah.