Industrialisasi yang masif di Indonesia digadang-gadang akan menghantarkan negeri ini menjadi negara maju. Selain membawa kemakmuran, proses tersebut nyatanya juga memiliki efek samping bagi kependudukan, yakni masalah pengangguran. Pengangguran adalah kondisi dimana sebagian masyarakat yang merupakan Angkatan kerja tidak mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Tingginya tingkat pengangguran kemudian menyebabkan timbulnya masalah-masalah sosial di suatu daerah. Tingkat pengangguran yang tinggi masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), negara yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo tersebut mencatatkan tingkat pengangguran terbuka yang naik dari tahun ke tahun selama setengah dekade terakhir.
Pada tahun 2017, terdapat lebih dari tujuh juta orang menganggur dari 275 juta orang populasi Indonesia saat itu. Tahun- tahun selanjutnya pun tidak menunjukkan penurunan angka pengangguran---malah selalu naik. Pertumbuhan penduduk menang dinilai memberikan kemungkinan pengangguran juga akan naik, tetapi ketika jumlah penduduk menurun penggagguran tetap meningkat. Data BPS mencatat kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2018 hingga 2020, yakni naik lebih dari dua kali lipat, yang semula masih berkisar 60.000-an jiwa menjadi hampir 150.000 jiwa. Laju kenaikan yang signifikan disinyalir terkait dengan adanya pandemi Covid-19 yang telah menimbulkan dampak gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di seantero negeri. Merosotnya ekonomi akibat pandemi banyak merugikan korporasi, hingga mengharuskan mereka untuk melakukan pengurangan jumlah pekerja. Adanya pandemic Covid-19 memang memberikan kenaikan tingkat pengangguran yang drastis. Namun, dalam kondisi wajar, pengangguran dapat naik karena beberapa factor. Baik penduduk yang termasuk Angkatan kerja, maupun pemerintah dan korporasi sama-sama menentukan besar atau tidaknya tingkat pengangguran pada suatu wilayah. Faktor yang timbul dari Angkatan kerja diantaranya; Tingkat Pendidikan yang rendah, penguasaan keterampilan kerja atau skill yang kurang memadai, dan keinginan untuk menciptakan lapangan kerja sendiri yang rendah. Sedangkan, factor yang timbul dari pemerintah dan korporasi adalah bagaimana pemerintah membuat kebijakan terkait penyerapan ketenagakerjaan dan bagaimana korporasi dalam merekrut tenaga kerja. Melihat realita yang terjadi, pemerintah---khususnya pemerintah Kabupaten Bandung harus aware dan solutif dalam menyikapi permasalahan kenaikan tingkat pengangguran terbuka ini. Karena jika tidak, akan timbul berbagai permasalahan sosial baru.
Berdasarkan data yang dirilis bps.go.id, banyaknya penduduk dengan kategori miskin di dalam negeri pada bulan ketiga 2019 berada pada angka hampir sepuluh persen dari jumlah penduduk. Walaupun dikatakan menurun dibandingkan tahun sebelumnya, angka tersebut masih tergolong besar untuk Negara yang ingin mendapatkan status "Negara maju". Menurut Suhardianto (1999), kemiskinan secara konvensional yakni tidak dapat dipenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang kemudian diperluas menjadi tingkat pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier, ketersedian fasilitas umum, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, serta pasar. Oleh karena itu, hal tersebut merambah aspek sosial dan ekonomi; secara ekonomi rakyat miskin berada dalam situasi having nothing, yaitu tidak punya apapun, dan secara sosial pun being nothing, yang berarti tidak menjadi apa- apa (Harris- White, 2005). Menurut Nurkse (dalam Kuncoro, 1997:132), kemiskinan berakar dari permasalahan yang dijelaskan oleh vicious circle of poverty, yaitu siklus kemiskinan yang bermula dari rendahnya produktivitas, pendapatan rendah, dan daya beli rendah menyebabkan rendahnya investasi. Selanjutnya, hal tersebut mengakibatkan defisiensi modal yang lalu berujung pada kembali rendahnya produktivitas masyarakat tersebut hingga terus menerus membentuk lingkaran setan. Pertumbuhan ekonomi boleh saja meningkat, tetapi ternyata tidak semua rakyat dapat menikmatinya sesuai proporsi mereka (Hendri Davy, 2014). Hal tersebut dikarenakan naiknya kadar ketimpangan secara perlahan tiap tahunnya. Kadar ketimpangan dalam suatu Negara dapat dilihat dari rasio Gini, yaitu sebuah kalibrasi angka di mana bila mendekati nol artinya ketimpangan rendah, sedangkan mendekati satu mencerminkan ketimpangan tinggi. Rasio Gini atau Koefisien Gini dipelopori oleh Corrado Gini, seorang sosiolog asal Italia pada tahun 1909. Sampai dengan saat ini, rasio Gini masih digunakan oleh dunia internasional untuk mengukur besaran ketimpangan dalam suatu wilayah.
Ekonomi politik sendiri merupakan studi tentang bagaimana sistem ekonomi, yakni mekanisme pasar dan ekonomi negara dan sistem politik, misalnya hukum, institusi, pemerintah saling terkait. (Hacker, Jacob., 2021). Fenomena yang dipelajari secara luas dalam disiplin adalah sistem seperti pasar tenaga kerja dan pasar keuangan, serta fenomena seperti pertumbuhan, distribusi, ketimpangan, dan perdagangan, dan bagaimana hal-hal tersebut dibentuk oleh institusi, hukum, dan kebijakan pemerintah. Kajian tersebut berasal dari abad ke-16, yang mana adalah pendahulu dari disiplin ilmu ekonomi modern. Ekonomi politik dalam bentuknya yang modern dianggap sebagai bidang inter- disipliner, berdasarkan teori dari ilmu politik dan ekonomi modern. Ekonomi politik dapat dilacak permulaannya dari filsafat moral barat abad ke-16, dengan karya teoretis yang menyoroti kekuasaan dan kekayaan negara. Terminologi politik mengambil kata dari Bahasa Yunani polis dan ekonomi juga berakar dari kata Yunani Economia---yang secara harfiah berarti manajemen rumah tangga. Karya ekonomi politik paling awal biasanya dikaitkan dengan para pemikir klasik, seperti Adam Smith, dan David Ricardo, meskipun karya tersebut didahului oleh karya para filosofer Perancis, seperti F. Quesnay dan Anne-Robert-Jacques Turgot pada abad ke 15. Pada akhir abad ke-19, istilah ekonomi politik secara bertahap mulai menggantikan istilah ekonomi dengan munculnya pemodelan matematika bertepatan dengan penerbitan buku teks yang berpengaruh oleh Alfred Marshall pada tahun 1890. Sebelumnya, William Stanley Jevons, seorang pendukung metode matematika yang diterapkan pada subjek, menganjurkan ekonomi untuk singkatnya dan dengan harapan istilah tersebut menjadi nama ilmu yang diakui. Metrik pengukuran ekonomika menunjukkan bahwa penggunaan istilah "ekonomi" mulai menaungi "ekonomi politik" sekitar tahun 1910, menjadi istilah yang lebih disukai untuk disiplin tersebut pada tahun 1920.Saat ini, istilah "ekonomi" biasanya mengacu pada studi sempit tentang ekonomi tanpa pertimbangan politik dan sosial lainnya, sementara istilah "ekonomi politik" mewakili pendekatan yang berbeda dan bersaing.
Ekonomi politik paling sering mengacu pada studi interdisipliner yang memanfaatkan ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik untuk menjelaskan bagaimana institusi politik, lingkungan politik, dan sistem ekonomi---kapitalis, sosialis, komunis, atau campuran---saling mempengaruhi satu sama lain. Kode klasifikasi Journal of Economic Literature mengaitkan ekonomi politik dengan tiga sub-bidang: (1) peran pemerintah dan/atau hubungan kelas dan kekuasaan dalam alokasi sumber daya untuk setiap jenis sistem ekonomi, (2) ekonomi politik internasional, yang mempelajari dampak ekonomi dari hubungan internasional,dan (3) model ekonomi dari proses kelas politik atau eksploitatif. Dalam bidang ilmu politik, secara umum terdapat perbedaan antara ekonomi politik internasional dipelajari oleh sarjana hubungan internasional dan ekonomi politik komparatif dipelajari oleh sarjana politik komparatif.
Teori pilihan publik adalah teori microfoundations yang terkait erat dengan ekonomi politik. Kedua model pendekatan pemilih, politisi dan birokrat berperilaku terutama dengan cara yang mementingkan diri sendiri, berbeda dengan pandangan, yang dianggap berasal dari ekonom arus utama sebelumnya, tentang pejabat pemerintah yang mencoba memaksimalkan utilitas individu dari beberapa jenis fungsi kesejahteraan sosial. Dengan demikian, ekonom dan ilmuwan politik sering mengasosiasikan ekonomi politik dengan pendekatan menggunakan asumsi pilihan rasional terutama dalam teori permainan dan dalam memeriksa fenomena di luar kewenangan standar ekonomi, seperti kegagalan pemerintah dan pengambilan keputusan yang kompleks dalam konteks mana. istilah "ekonomi politik positif" adalah umum. Topik "tradisional" lainnya termasuk analisis isu-isu kebijakan publik seperti regulasi ekonomi, monopoli, rent-seeking, perlindungan pasar, korupsi institusional dan politik distribusi. Analisis empiris meliputi pengaruh pemilu terhadap pilihan kebijakan ekonomi, determinan dan model peramalan hasil pemilu, siklus bisnis politik, independensi bank sentral dan politik defisit berlebihan. Fokus yang agak baru telah diletakkan pada pemodelan kebijakan ekonomi dan institusi politik mengenai interaksi antara agen dan institusi ekonomi dan politik, termasuk perbedaan yang tampak antara kebijakan ekonomi dan rekomendasi ekonom melalui lensa biaya transaksi. Dari pertengahan 1990-an, bidang ini telah berkembang, sebagian dibantu oleh kumpulan data lintas-nasional baru yang memungkinkan pengujian hipotesis pada sistem dan institusi ekonomi komparatif. Topiknya meliputi pecahnya negara, asal-usul dan tingkat perubahan institusi politik dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan, pasar dan regulasi keuangan, pentingnya institusi, keterbelakangan, reformasi dan ekonomi transisi, peran budaya, etnis dan gender dalam menjelaskan hasil ekonomi, kebijakan ekonomi makro, lingkungan, keadilan dan hubungan konstitusi dengan kebijakan ekonomi, teoretis dan empiris. Kajian ekonomi politik turut andil dalam topik pembahasan tersebut karena adanya keterkaitan dengan public policy (kebijakan publik). Suatu kebijakan publik nantinya dapat memengaruhi kondisi masyarakat pada suatu wilayah melalui pembangunan, apakah output nya pembangunan yang merata atau malah sebaliknya
Dalam sistem kapitalisme, para pemilik modal atau alat produksi sudah dapat memenuhi kebutuhan materil mereka. Kelas kapitalis cenderung ingin memprioritaskan dirinya sendiri dengan mengejar keuntungan sebesar-besarnya dan pengeluaran sekecil-kecilnya. Hal tersebut memicu adanya konflik dengan kelas pekerja lantaran cara yang ditempuh oleh para kapitalis dengan memberi hak-hak yang sangat minim kepada para pekerja, seperti upah yang kecil dan jam kerja yang panjang. Kemudian, adanya konflik tersebut memicu perjuangan kelas pekerja yang menuntut kesejahteraan. Oleh karena itu, dengan pendekatan ekonomi politik klasik dan neoklasik tidak dimungkinkan untuk untung bersama-sama atau rugi bersama-sama. Akan tetapi, setelah muncul kritik oleh pendekatan Keynesian masih dimungkinkan untuk sama-sama diuntungkan antara pemilik modal dan pekerjanya karena pendekatan tersebut menekankan pada peran pemerintah untuk meregulasi segala hal diluar mekanisme pasar. Revolusi industri menandai munculnya sistem kapitalisme yang dilandasi oleh mekanisme pasar. Maka yang berlaku pada era tersebut adalah pendekatan ekonomi politik klasik. Pada era tersebut, relasi kuasa dipegang oleh kelas kapitalis, sedangkan kelas pekerja menjadi kelas yang inferior. Kelas pekerja saat itu masih belum memiliki kesadaran akan kepentingan individu mereka sendiri. Barulah setelah Karl Marx memperkenalkan pendekatan radikal para pekerja mulai memiliki kesadaran akan kepentingan tersebut. Akan tetapi, pendekatan klasik yang dikritik Marx kemudian diperbaiki oleh pendekatan neoklasik. Ilmuwan neoklasik menghendaki adanya campur tangan otoritas pada mekanisme pasar apabila diperlukan. Oleh karena itu, kepentingan material mereka dinilai saling bertentangan dalam pendekatan ekonomi politik klasik dan neoklasik.
Post Keynesian meyakini bahwa pengangguran tidak sukarela dan menetap atau persisten, serta fluktuasi ekonomi adalah inti dari permasalahan ekonomi secara keseluruhan. Karena upah ditetapkan pada tingkat nominal, otoritas moneter dapat mengontrol upah riil (nilai upah disesuaikan dengan inflasi) dengan mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi seberapa banyak tenaga kerja yang dipekerjakan. Mereka melihat resesi sebagai manifestasi kegagalan mekanisme pasar. Perhatian nya terhadap ekonomi dituangkan pada ekonomi mikro, yakni pendekatan yang didasari oleh penguatan sektor ekonomi mikro sebagai tulang punggung ekonomi negara oleh pemerintah. Beberapa tindakan tingkat ekonomi mikro yang rasional secara individual seperti tidak menginvestasikan tabungan dalam barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian, jika diambil secara kolektif oleh sebagian besar individu dan perusahaan, dapat menyebabkan hasil di mana perekonomian beroperasi di bawah potensi output dan tingkat pertumbuhannya. Otoritas lalu dapat memberi stimulus atau suntikan dana kepada korporasi swasta untuk tetap dapat menjalankan roda usaha nya.
Pendekatan ekonomi politik post Keynesian dinilai cukup relevan diterapkan untuk upaya pemerantasan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, Dengan konsep tersebut, bank masih dapat memberi pinjaman, maka korporasi tetap mendapatkan modal, lalu aktivitas produksi tetap berjalan, kemudian penyerapan tenaga kerja secara optimal, serta mekanisme pasar tetap terjaga. Akan tetapi, pasti terdapat gap antara sebuah ide atau konsep dan aksiologi atau implementasi sehingga belum dapat dipastikan dapat berjalan dengan sempurna sesuai hasil pemikiran dan riset para ekonom tersebut. Kondisi negara yang dibayang-bayangi oleh efek domino tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia siap menghadapi kondisi demikian? Melansir dari Tirto.id, Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki fundamental ekonomi yang kuat untuk tantangan akan kemiskinan dan ketimpangan karena kebijakan konsolidasi fiskal pada 2023. Hal tersebut didukung pula oleh laju inflasi yang masih berada di angka kurang dari lima persen, serta pertumbuhan ekonomi yang sudah berada di atas lima persen. Kemudian, usaha sektor riil dan UMKM juga diklaim menjadi tulang punggung perputaran uang di Indonesia. Walaupun dirasa masih aman, dampak dari turunan permasalahan sosial tetap wajib diwaspadai. Pemerintah Indonesia dapat membuat regulasi yang mengawasi peredaran uang di masyarakat dan juga meningkatkan daya beli dengan stimulus dan pemberlakuan restrukturisasi harga pasar, serta selalu menjaga ketimpangan agar tidak terus menerus menjadi tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H