Lihat ke Halaman Asli

Pandemi dan Perjuangan Perlindungan Perempuan

Diperbarui: 12 Oktober 2022   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Merebaknya Virus SARS-ncov-19 atau Covid 19 di Wuhan, RRC pada awal 2020 silam rupanya menjadi pemicu terjadinya Pandemi Global. Indonesia sendiri tidak luput dari penyebaran Covid 19 tersebut, akibatnya pemerintah pusat menetapkan status Bencana non- alam mulai bulan Maret 2020. 

Meski demikian, pemerintah dinilai kurang tanggap dan cenderung menyepelekan wabah tersebut pada masa awal penyebaran beberapa bulan yang lalu. Bahkan, pada kondisi tersebut sekelas eksekutif pusat saja masih menganggap pandemi ini sebagai lelucon disaat negara- negara lain tengah berpikir mempersiapkan pencegahan dan penangannya.

Sangat disayangkan, terjadinya wabah turut menjadi alasan penghentian sementara advokasi terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Rancangan Perundangan tersebut dirasa perlu sebagai dasar hukum untuk mem- prevent banyaknya korban jatuh akibat kekerasan seksual di Indonesia. 

Dilansir dari Katadata.co.id, hal tersebut juga bisa mengakomodir penegak hukum atau pihak berwenang untuk menindak pelaku kekerasan dan memastikan bahwa korban tidak akan menjadi pelaku selanjutnya di kemudian hari. 

Kemudian, dengan adanya payung hukum ini diharapkan narasi publik lebih menyorot ke pelaku, dan bukan ke korban atau victim blaming. Perjuangan dan pembelaan dari kaum perempuan yang sadar akan kesetaraan gender dan hak- hak mereka untuk menjadikan RUU PKS tersebut sebagai awal payung hukum yang kokoh masih kerap mendapatkan hambatan politis di parlemen pusat. 

Pasalnya, beberapa fraksi parpol yang "berjubah" religius- kanan tidak sepakat akan hal ini dengan narasi mereka yang meyakinkan bahwa agama dan tradisi tidak membenarkan adanya produk hukum semacam ini. 

Mereka beralasan kalau produk hukum tersebut berpeluang melegalkan pernikahan sesama jenis yang disetujui oleh negara. Padahal, tidak ada satupun kertas dalam undang- undang tersebut yang berisikan hal yang itu.

Kondisi seperti ini diperparah lagi oleh masyarakat luas dan media yang focus kepada persoalan pandemi Covid-19, sehingga pembahasan, dan kajian tentang RUU PKS jadi buyar dan tenggelam. Maka dari itu, kaum perempuan harus tetap menggaungkan permasalahan ini, sehingga advokasi masih dapat terus berlanjut pasca- berakhirnya wabah.          

Pandemi Covid-19 sangat terasa dampaknya bagi para pekerja perempuan, dari rasa kekhawatiran di tempat kerja, hingga berujung pemutusan hubungan kerja massal. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa jikalau respon pemerintah dalam menghadapi virus ini, utamanya pengawasan dan pembatasan lalulintas keimigrasian  sudah tepat dan cepat, maka seharusnya efek Pandemi dari luar negeri tersebut tidak akan banyak memberatkan para pekerja perempuan yang dilematis dengan pilihan hidupnya. 

Terkhusus bagi mereka yang menjadi tulang punggung keluarga dan berkewajiban menafkahi anak- anak nya, saat ini sebagian dari mereka yang masih dapat bekerja tidak punya pilihan lain, yaitu bekerja di tempat mereka bekerja dengan resiko tertular wabah, atau berdiam di rumah dengan kelaparan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline