Dinamika Pancasila sebagai Dasar Negara
Dinamika Pendidikan Pancasila
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. menurut Ernest Renan; kehendak untuk bersatu (le desir d'etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka "Bhinneka Tunggal Ika". Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan.
Mengenai hal itu , Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan " Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan , dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak asasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia , mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraanya lahir batin selengkap mungkin , memajukan kesejahteraan umum , yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial)."
Tantangan Pendidikan Pancasila
Masih ada sederat fakta empiris yang menunjukkan betapa Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia kini tak lebih bagaikan macan keras.
Nilai-nilai ekonomi kerakyatan, misalnya , sudah mulai ditinggalkan pelan-pelan digantikan sistem ekonomi pro-"kapital". Pasar-pasar tradisional digusur digantikan supermarket. Semuanya dilakukan seolah-olah sebagai hal wajar dan tidak memiliki dampak jangka panjang. Akibatnya , rakyat mulai kehilangan mata pencarian di satu sisi dan sisi lain bangsa ini mulai kehilangan daya kritisnya karena bekerja dalam bidang apapun beradai dibawah tekanan global. Nasib buruh semakin ternistakan karena keserakahan juragannya dan kebijakan pemerintah yang membiarkan praktik outsourcing yang kerap tak manusiawi.
Ekite politik tampak membiarkan dirinya tercebur dalam pusaran arus global tanpa proteksi. Kebanggaan diri sebagai bangsa bukan lagi menjadi acuan. Orientasi hidup hanya mencari popularitas , maka munculnya fenomena " mengiklankan diri sendiri " tanpa memerhatikan aspek penderitaan rakyat. Pemerintah sulit menjadikan rasa empati sebagai bahan pertimbangan utama merancang , kebijakan, yang diluar terlihat populis tetapi substansinya sebenarnya menindas. Pancasila sedang menghadapi krisis multidimensional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H