Kitab Kotaragama: Warisan Hukum dan Moral Nusantara pada Abad ke-17.
Naskah kuno Kotaragama adalah sebuah harta peninggalan yang mengandung aturan hukum dan moral pada abad ke-17 di Nusantara. Berasal dari pemilikyaitu Amaq Sembah, Mantang, Lombok Tengah, naskah ini ditemukan di Museum NTB dengan nomor registrasi 1050 dan inventaris 07.294. Menggunakan huruf Jejawan, naskah ini terdiri dari 56 lempir dengan 4 baris pada setiap lempir, tertulis dengan tinta hitam pada daun lontar berukuran 50,6 cm x 3,2 cm x 4,5 cm. Meskipun tanggal penulisannya tidak pasti, diperkirakan terjadi pada tahun 1600 Saka atau 1674 Masehi.
Kotaragama, secara harfiah berarti aturan atau hukum yang berlaku di suatu wilayah. Naskah ini mencantumkan bahwa peraturan ini berlaku di Kerajaan Surya Alam yang dipimpin oleh seorang raja beragama Islam. Dalam gancaran (prosa) ini, Amaq Sembah mengungkapkan nilai-nilai luhur seperti kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, dan peraturan hukum. Selain itu, naskah ini juga menyinggung aspek-aspek kehidupan sehari-hari seperti perkawinan, hutang piutang, pencurian, gadai, hak dan kewajiban rakyat, perpajakan, dan banyak lagi.
Melalui Kotaragama, kita bisa merasakan atmosfer moral dan etika pada zamannya. Sang raja, yang memiliki sifat-sifat seperti gunung yang suci, laut yang meredam kebusukan, dan api yang membersihkan, diharapkan menjadi teladan dalam menjalankan pemerintahan. Sebagai sebuah warisan berharga, naskah ini membawa kita pada sebuah perjalanan melintasi waktu, menyaksikan bagaimana masyarakat pada masa itu mengatur dan menghormati nilai-nilai kehidupan. Keseluruhan, Kotaragama menjadi sebuah jendela ke masa lalu, mengajarkan kita tentang akar budaya yang membentuk identitas bangsa Indonesia.
Terkait tanggal penulisan, terdapat ketidakpastian, namun diperkirakan pada tahun 1600 Saka atau tahun 1674 Masehi. Pada masa penulisan, Lombok berada di bawah pemerintahan Raja Karang Asem (1692-1839), sementara Indonesia secara keseluruhan berada di bawah kekuasaan Belanda. Naskah mencantumkan bahwa peraturan ini berlaku di Kerajaan Surya Alam, yang dipimpin oleh seorang raja beragama Islam.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Kotaragama mencakup kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan hukum, dan aspek-aspek kehidupan seperti perkawinan, hutang piutang, pencurian, gadai, hak dan kewajiban rakyat, perpajakan, dan sebagainya. Naskah ini juga menyoroti nilai-nilai moral, sangsi hukum jika norma dilanggar, serta tata perilaku seorang raja.
Naskah Kotaragama mengandung nilai-nilai penting dari budaya Nusantara pada abad ke-17. Pentingnya kajian terhadap naskah-naskah kuno ini adalah untuk memahami sejarah dan menggali nilai-nilai luhur yang dapat menjadi landasan bagi perkembangan budaya di masa kini. Dengan mempertahankan dan memahami warisan budaya ini, diharapkan dapat memperkaya identitas dan jati diri bangsa Indonesia.
Pentingnya Ajaran Kotaragama dalam Menentukan Pemimpin: Inspirasi untuk Pemilu 2024.
Dalam naskah kuno Kotaragama, terdapat ajaran yang mendalam mengenai sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam kutipan "salokaning ratu hiku,giri suci, jaladri, bahnipawaka, surya , sasangka, nilatadu," dijelaskan bahwa seorang raja harus memiliki sifat yang kokoh seperti gunung yang suci, mampu meredam keburukan seperti laut yang mengatasi bau amis, dan menghapuskan kekotoran seperti api. Pemimpin yang menerangi dengan kebijaksanaan sebagaimana matahari, memberikan kesejukan seperti bulan, dan memiliki pandangan luas dan teguh seperti langit biru.
Namun, yang paling mencolok adalah penekanan pada ketaatan dalam menjalankan agama, sebagaimana tertulis, "dana punika tatanira sang prabu, karane kajrihana dening bala, harep manah hing wong senegara, puniku lwirepun, den nastiti sang prabu hing agama." Dalam konteks Pemilu 2024, pesan ini menjadi sangat relevan. Seorang pemimpin yang taat pada agama bukan hanya mendapatkan kehormatan, tetapi juga ditakuti oleh rakyat karena melayani kehendak mereka dan berbakti pada agama.