Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Pemilih yang Baik Tak Harus Menjadi Cebong dan Kampret

Diperbarui: 29 Januari 2019   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ket.: Ilustrasi Cebong dan Kampret. Sumber: suarasikka.com

Sejak sayembara Pilpres 2019 lahir dalam kandang Nusantara, sejak itu pula lahirlah dua anak kandung demokrasi bernama Cebong dan Kampret. Cebong sebagai hinaan untuk para pendukung fanatik Jokowi (Jokowi-Amin) yang bergentayangan di media sosial. Sedangkan, Kampret sebagai hinaan untuk para pendukung garis keras Prabowo (Prabowo-Sandi) yang setiap detik wara-wiri di jagat maya.

Disebut Cebong, lantaran para pemuja Jokowi ditamsilkan sebagai segerombolan orang yang memiliki IQ yang rendah dalam mendukung sesuatu sebagaimana IQ kecebong atau kodok. 

Sementara itu, dibaptis Kampret, sebab militan Prabowo dimisalkan sebagai serombongan manusia yang otaknya terbalik sebagaimana perilaku kelelawar yang kerap menggantung diri secara terbalik di siang hari. 

Cebong dan Kampret kian hari menjelma layaknya hantu yang menakutkan dalam gua media sosial. Keduanya saling perang dengan senjata tajam kata-kata demi menumbangkan lawan.

Kadang, kata-kata itu dibarengi dengan data yang dicopy paste dari kanal maya. Walaupun kadang naif, data yang disalin tempel tersebut tidak melalui proses verifikasi yang laik. 

Asal data tersebut sesuai dengan ambisi untuk membela kelompoknya dan menghina kelompok lawan, dicopot pasang saja pada dinding maya.

Tahapan pembelaan tersebut bahkan merambah naik kepada etape taklid buta. Setiap hal yang disabdakan atau dilakonkan oleh junjungan mereka, selalu saja dibenarkan. 

Begitu pula sebaliknya, setiap kesalahan yang dikatakan atau dilakukan oleh pujaannya, selalu dicari jalan pembenaran sekaligus mengenyampingkan kebenaran. 

Bukankah perilaku semacam ini dinamakan perilaku buta dan tuli? Itu suatu perilaku yang tidak lagi menggunakan akal sehat dalam bertindak dan mengambil keputusan. 

Perilaku semacam ini lebih menilai sesuatu secara nafsuiyah ketimbang akaliyah. Perilaku semacam ini sejujurnya merupakan sebuah perilaku yang mundur di tengah pesatnya kemajuan cara berpikir manusia modern.

Tidak jarang, perilaku membenarkan sesuatu tanpa akal sehat ini bisa saja menjerumuskan orang ke dalam lembah perpecahan. Lembah di mana lawan diskusi bisa saja jadi lawan adu jotos, lawan bertengkar mulut jadi berantem badan. Penyebabnya sepele, masing-masing kubu saling mempertahankan argumen yang sejatinya tidak absolut benar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline