Lihat ke Halaman Asli

Devan Alhoni

Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Brexit, Pandemi, dan Kiamat Ekonomi: Bagaimana Inggris Menghancurkan Dirinya Sendiri

Diperbarui: 7 September 2024   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Detik.com


Langit london yang biasanya cerah kini tampak kelabu. Kota yang dulu menjadi simbol kemakmuran Kerajaan Inggris Raya itu kini diselimuti awan gelap ketidakpastian ekonomi. Di sepanjang Oxford Street, salah satu pusat perbelanjaan tersibuk di dunia, deretan toko-toko mewah mulai sepi pengunjung. Beberapa bahkan terpaksa menutup gerainya, meninggalkan etalase kosong yang menjadi saksi bisu betapa dalamnya krisis yang kini menghantam Inggris.

"Saya tidak pernah menyangka akan mengalami masa sesulit ini," ujar Sarah Thompson, seorang ibu dua anak yang baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai manajer toko di sebuah butik ternama. "Dulu kami hidup nyaman, tapi sekarang... jangankan membeli baju baru, membayar tagihan listrik saja sudah menjadi beban berat."

Kisah Sarah hanyalah satu dari jutaan cerita pilu yang kini menghiasi kehidupan rakyat Inggris. Negara yang pernah menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu kini terpuruk dalam krisis multidimensi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Inflasi melambung tinggi, nilai tukar Pound Sterling anjlok ke level terendah sepanjang sejarah, dan ancaman resesi yang panjang membayangi di depan mata.

Bagaimana bisa negara sekuat Inggris jatuh sedemikian dalam? Untuk memahami akar permasalahannya, kita perlu menelusuri jejak sejarah ekonomi Inggris selama lebih dari satu dekade terakhir.

Benih-benih Kehancuran: Krisis Finansial Global 2008

Krisis yang kini melanda Inggris sebenarnya telah ditabur bibitnya sejak krisis keuangan global yang mengguncang dunia pada tahun 2008. Saat itu, gelombang kehancuran ekonomi yang bermula di Amerika Serikat dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Inggris.

Dr. Jonathan Harris, seorang ekonom senior dari London School of Economics, menjelaskan, "Krisis 2008 adalah titik balik bagi ekonomi Inggris. Saat itu, kita menyaksikan betapa rapuhnya sistem perbankan kita ketika dihadapkan pada guncangan global."

Salah satu korban pertama dari krisis ini adalah Northern Rock, bank yang telah berdiri sejak tahun 1965. Bank ini mengalami krisis likuiditas parah dan terpaksa dinasionalisasi oleh pemerintah Inggris pada Februari 2008. Peristiwa ini menandai awal dari serangkaian intervensi pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sektor keuangan Inggris.

Namun, langkah penyelamatan Northern Rock ternyata hanya permulaan. Ketika Lehman Brothers, salah satu bank investasi terbesar di Amerika Serikat, mengumumkan kebangkrutannya pada September 2008, gelombang kepanikan melanda pasar keuangan global. Inggris, sebagai salah satu pusat keuangan dunia, terkena dampak langsung dari kehancuran ini.

Pemerintah Inggris, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Gordon Brown, terpaksa mengambil langkah drastis. Dalam upaya menyelamatkan sistem perbankan dari kehancuran total, pemerintah melakukan bailout besar-besaran terhadap bank-bank besar seperti Royal Bank of Scotland (RBS) dan Lloyds Banking Group.

"Itu adalah momen yang mengubah segalanya," kenang Lord Alistair Darling, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan Inggris. "Kami harus bertindak cepat dan tegas. Taruhannya adalah kehancuran total sistem keuangan Inggris."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline