Persahabatan adalah hubungan yang lumrah terjadi diantara kita sebagai manusia. Masing-masing dari kita tentunya mempunyai sahabat, entah itu satu, dua, atau bahkan lebih dari itu. Tentunya kita sangat memilah dan memilih berdasarkan nilai yang kita himpun, mana seseorang yang cocok kita jadikan sahabat, mana yang tidak.
Dalam kehidupan kita, orang lain khususnya sahabat sangat kita butuhkan. Baik buruknya perilaku kita, sangat bergantung kepada dengan siapa kita bersahabat. Ketika kita berada di dalam lingkaran persahabatan yang baik, maka sahabat kita bisa menjadi seseorang yang selalu menjadi pengingat untuk selalu berbuat kebajikan. Dalam lain hal, sahabat juga bisa berfungsi menjadi 'rem' untuk menahan kita dari segala kesalahan yang kita lakukan.
Hubungan persahabatan tentunya tidak akan terjadi ketika antara aku dan dia tidak sama-sama saling mengakui. Terjalinnya persahabatan antara aku dan dia tidak mungkin melalui proses yang tidak singkat; perlu adanya waktu untuk terjadinya ikatan tersebut.
Sebab, tak mungkin ia bisa bersahabat, ketika mereka tidak pernah melakukan aktivitas bersama. Dari seringnya melakukan aktivitas bersama itulah, dimulailah proses menjalin persahabatan tersebut. Tentunya, setelah mereka sering melakukan aktivitas bersama, barulah timbul rasa cinta diantara mereka. Persahabatan mereka tidak akan bertahan lama ketika tidak dilandasi dengan cinta atau rasa saling suka.
Saling cinta di dalam konsep persahabatan itu tentunya memiliki definisi yang berbeda dengan saling cinta di dalam konsep berpacaran. Kalau kita merujuk pada pembahasan filsafat, dalam bahasa Yunani kuno, cinta dibagi menjadi tiga istilah: ada Eros, Philia, dan Agape.
Tentu, ketiga istilah itu memiliki pengertian dan tingkatan yang berbeda-beda. Nah ringkasnya, cinta yang dimaksud dalam persahabatan itu dinamakan Philia. Artinya, philia itu bukan cinta yang berlandaskan karena nafsu (eros), namun lebih bersifat relasional. Jadinya, sebagaimana dalam berpacaran, cinta juga sangat dibutuhkan dalam persahabatan.
Aristoteles (filsuf kelahiran 384 SM -- 322 SM) mengatakan bahwa timbulnya rasa cinta dalam persahabatan itu tentunya tidak langsung datang secara tiba-tiba, tetapi ada tiga motif yang mendasari tumbuhnya rasa cinta itu, yakni: baik perilakunya, menyenangkan pribadinya, dan dianggap memiliki nilai guna atau manfaat. Nah, salah satu dari tiga motif itulah yang pada awalnya mendasari kita menjalin persahabatan dengan orang lain. Jadi, tidak mungkin kita bersahabat dengan orang lain, tanpa adanya salah satu dari tiga motif tersebut.
Akan tetapi, dari ketiga motif tersebut, kita bisa mengetahui lebih dalam lagi, apakah persahabatan kita sudah mencapai level yang paripurna atau masih level biasa-biasa saja? Tentunya ini bisa kita lihat dan kita rasakan dalam persahabatan yang sedang kita lakukan.
Ketika di dalam menjalin persahabatan, sahabat kita hanya memanfaatkan diri kita saja, misalkan karena kita kaya dan bisa kasih kesenangan untuknya, takutnya persahabatan semacam ini tak akan bisa bertahan lama.
Sebab yang dia sahabati bukan kita, tapi uang kita dan segala bentuk yang kita berikan kepadanya. Sehingga, ketika kita tidak dapat memberikan manfaat dan tidak bisa menjadi orang yang berguna lagi untuknya, maka persahabatan itu akan berakhir. Nah, Aristoteles menyebut level ini dengan istilah imperfect friendship.
Sementara itu, kita bisa mencapai dan naik tingkat dalam level paripurna atau dalam istilah Aristoteles disebut perfect friendship, ketika persahabatan kita dilandasi dengan budi pekerti yang luhur dan tanpa pamrih. Walaupun pada saat itu kita tidak bisa lagi mengambil manfaat darinya; walaupun pada saat itu, mereka tidak bisa ngasih sesuatu barang yang dahulu ia kasih kepada kita; tapi kita masih tetap membersamainya, itulah yang dinamakan persahabatan yang sejati {perfect friendship}.