Bulan ramadhan berakhir beberapa hari lalu. Bulan penuh akan keberkahan dan kemuliaan kini berpamitan. Sampai tak sadar dan cenderung acuh akan keberadaaanya. Mungkin kita memiliki pengalaman atau cerita tersendiri akan kedekatan dengan bulan Ramadhan. Bersyukur jika seseorang dapat bercengkerama dengan baik di bulan tersebut, dengan mengisi berbagai aktifitas ibadah didalamnya.
Mengingat bulan mulia dan berkah, maka banyak orang berusaha mewarnainya dengan berlomba dalam kebaikan. Misalnya; berinfak, besdekah, berbagi takjil dan lain-lain. Hingga pada saatnya seorang muslim menuai hari yang fitri yakni pada 1 Syawal.
Hari raya idul fitri atau kerap diucap lebaran, yang terbesit dalam benak adalah sebuah momentum membahagiakan umat muslim di dunia, dimana di momen ini hubungan persaudaraan atau ukhuwah islamiyah seorang muslim dengan lainnya bak bunga mekar di pagi hari. Yakni ditunjukkan dengan fenomena silaturahmi, kepada kelurga besar, guru-guru, teman sejawat, dan lainnya. Namun perlu di sadari, raanya kita perlu memaknaoi hal tersirat dalam momentum yang dinamakan idul fitri ini. Dimana sesungguhnya kita menyambut kemenangan sejati dalam diri.
Kenapa pantas menuai kemenangan sejati? Bagaimana tidak seorang muslim ditempa satu bulan penuh di bulan Ramdhan dengan pembelajaran spiritual. Seharusnya bagi mereka yang sungguh-sungguh dan menikmati tempaan spiritual bulan Ramadahn maka wajar jika pasca Ramadhan menuai hasil panennya.
Tapi perlu dicermati orang-orang seperti itu tidak mutlak semua bisa merasakan. Saat melihat realita akan kita temui dua golongan. Golongan kanan adalah mereka yang selalu survive dan istiqomah dengan amal ibadahnya di bulan Ramadhan dan golongan kiri adalah mereka yang down dan terpuruk amal ibadahnya, hingga kesusahan untuk minimal bisa mempertahankan amalannya yang Ia perjuangkan di bulan Ramadhan. Dimanakah posisi kita sekarang? Renungkan!
Tentu kita mendambakan golongan kanan atau golongan pemenang, sejatinya ramadhan adalah syahrul tarbiyah (bulan pendidikan) dimana input yang kita rasakan satu bulan penuh, harusnya menjadi dorongan mutlak untuk mendapatkan impact berupa output ibadah yang berkualitas dan istiqomah.
Muslim yang bijak tentu tak rela jika dirinya kembali terpuruk disaat pasca ramadhan tiba. Layaknya metamorfosis kupu-kupu, ramadhan adalah dalam "fase kepompong". Kemudian sekarang adalah saatnya berupah pada "fase kupu-kupu". Kupu-kupu indah nan cantik yang siap terbang tinggi dan menebar manfaat disetiap bunga yang dihinggapinya. Begitulah seharusnya, kita semua mendamba akan kupu-kupu tersebut. Namun semua kembali pada diri, seberapakah besar tekad dan konsistensi untuk istiqomah. Semoga kita kembali fitri !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H