Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ryhan Aghani

Saya butiran debu di alam raya.

Penafsiran dalam Hukum

Diperbarui: 8 Desember 2022   18:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: geotimes.id

Dalam ilmu hukum tentunya tidak jauh dari tulisan yang terdapat dalam undang-undang, yang mana tulisan-tulisan yang terdapat dalam undang-undang bertujuan gunan mengatur suatu persoalan yang telah disepakati bersama. Namun bagaimanakah cara memaknai tulisan-tulisan yang terdapat dalam undang-undang itu, apakah para pembaca boleh menafsirkan sesukahati terkait dengan isi kandungan dalam undang-undang? Hal inilah yang akan saya bahas dalam tulisan kali ini.

Sebelum melangkah lebih jauh sebaiknya kita memahami apa itu yang dimaksud dengan penafsiran atau dalam Bahasa inggris disebut dengan interpretation, secara etimologi tafsir berasa dari kata al-fast diartikan sebagai " menyikap sesuatu yang tertutup" sederhananya ialah upaya mengartikan atau memaknai sesuatu hal dengan cara menafsirkan, Adapun jika kita gandengkan kata penafsiran dengan hukum atau penafsiran hukum maka dapat diartikan ilmu tentang penafsiran guna mengartikan maksdu daripada undang-undang dalam hukum.

Dalam hukum sendiri kita mengenal empat metode/cara dalam penafsiran yaitu gramatikal, sistematis, historis, dan yang keempat teleologis atau bisa disebut interpretasi sosiologis.

Penafsiran gramatikal

yaitu penafsiran yang metode menafsirkan ketentuan undang-undang dengan cara menguraikanya menurut Bahasa umum sehari-hari. Penerapan penafsiran gramatikal pernah terjadi di Belanda yaitu pada putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) 30        Januari 1996 penafsiran tentang definisi "mayat"  kasus dalam pasal 151 KUHP Belanda.

Saat itu seorang penasehat hukum terdakwa menyatakan dimuka persidangan bahwasanya terdakwa harus dibebaskan karena dalam pasal 151 KUHP Belanda yang di dakwakan hanya menyebutkan mayat sedangkan terdakwa kala itu hanya terbukti membawa badan tanpa kepala, penasihat hukum tersebut berpendapat bahwa badan tanpa kepala bukan merupakan mayat ia berpendapat bahwasanya mayat merupakan bagian tubuh secara utuh, maka dari itu  perbutan kliennya tidak sesuai dengan pasal 151 KUHP Belanda.

 Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) menilai bahwa baik menggunakan aturan hukum maupun menggunakan Bahasa secara umum tidak membatasi bahwasanya definisi jenazah yang sudah terpotong-potong tidak dianggap sebagai "mayat" sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 KUHP Belanda, Mahkamah Agung Belanda merujuk pada kamus Besar Bahasa Belanda bahwa arti kata "mayat"  tidak harus dipahami sebagai satu bagian utuh dari keseluruhan tubuh manusia, maka dari itu pendapat dari penasihat hukum tidak diterima.

Penafsiran Sistematis

Yaitu penafsiran ketentuan undang-undang  dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang yang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum, maka dapat dimaknai bahwa Ketika kita akan menafsirkan, kita tidak hanya mengacu pada pasal yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya dalam undang-undang yang sama atau undang-undang lain.

Penulis sendiri mencoba mencontohkan implementasi daripada penafsiran sistematis ini terhadap ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam pasal Pasal 188  ayat (1) Setiap Orang yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline