Seperti yang diketahui secara umum, pada masa Mekah, pengikut Muhammad masih merupakan kelompok minoritas yang lemah dan tertindas. Mereka tidak memiliki wilayah kekuasaan yang berdaulat dan tidak mampu menjadi kelompok sosial yang berpengaruh terhadap mayoritas masyarakat Mekah yang dikuasai oleh aristokrat Quraisy yang homogen.
Dakwah Rasulullah SAW ditolak oleh sebagian besar masyarakat Mekah dan mereka bahkan memusuhi Rasulullah dan pengikutnya di Mekah. Namun, situasinya berbeda di Yatsrib, di mana masyarakatnya justru terbuka dan menerima dakwah Rasulullah SAW.
Pada tahun 621 dan 622 M, Nabi Muhammad mendapatkan dukungan moral dan politik dari sekelompok orang Arab, yaitu suku Aus dan suku Khazraj, yang tinggal di kota Yatsrib dan memeluk agama Islam.
Peristiwa ini memiliki keistimewaan yang berbeda dengan orang Arab Mekkah yang masuk Islam. Selain menerima Islam sebagai agama mereka, mereka juga berkomitmen untuk hanya menyembah Allah, meninggalkan perbuatan jahat, dan taat kepada Rasulullah dalam segala hal yang benar. Pada tahun 622 M, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Aqabah kedua, mereka berjanji untuk melindungi Nabi Muhammad seperti melindungi keluarga mereka sendiri dan taat kepada beliau sebagai pemimpin mereka. Dua hal penting dalam peristiwa ini adalah kesaksian akan keesaan Allah SWT dan pengakuan terhadap ajaran dan kerasulan Muhammad, serta kesediaan mereka untuk memberikan loyalitas kepada Muhammad baik sebagai utusan Allah maupun sebagai pemimpin.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa Muhammad dan penduduk Yatsrib telah mencapai kesepakatan untuk saling menjaga dan melindungi keselamatan bersama. Selain itu, terlihat juga bahwa mereka telah menyerahkan hak kekuasaan diri kepada Nabi yang mereka akui sebagai pemimpin mereka. Dalam ilmu politik, hal ini disebut sebagai kontrak sosial.
Peristiwa ini membawa umat Islam dari kelompok kecil yang lemah menjadi komunitas politik yang kuat di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kedua peristiwa ini merupakan dasar yang mendasari pembentukan Negara Islam.
Dapat disimpulkan dari ilmu politik yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa beliau melakukan diplomasi dengan pemimpin terkemuka di Semenanjung Arab untuk memperkuat umat Islam yang saat itu masih merupakan minoritas. Tujuannya adalah agar umat Islam dapat berkembang dan kokoh di masa depan. Namun, bagaimana dengan politik di negara kita? Apakah politik yang dilakukan oleh para politikus negara ini sesuai dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kekuatan?
Pada pandangan awal, sulit untuk membedakan antara politik dan kekuasaan karena keduanya saling terkait. Namun, perbedaannya terletak pada apakah politik yang kita lakukan saat ini bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat umum atau hanya untuk kepentingan pribadi. Hal ini hanya dapat dilihat dengan hati nurani kita, bukan dengan mata kepala kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H