Lihat ke Halaman Asli

Tindakan Islamophobia Pasca Tragedi Serangan Paris 13 November 2015

Diperbarui: 15 September 2022   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketakutan terhadap Islam serta elemen ekstremisnya bukanlah fenomena baru di Perancis. Contohnya Pemboman 1995 yang terjadi di Paris Métro telah membangkitkan kekhawatiran masyarakat Perancis akan ancaman radikalisme Islam. Fenomena ini diperparah dengan tragedi sepanjang tahun 2015, terutama serangan 13 November di Paris yang diklaim dilakukan oleh Islamic State (IS) dan sengaja dimaksudkan untuk melukai dan membunuh warga sipil sebanyak mungkin. Dari perspektif politik domestik, tanggapan Presiden Perancis, Hollande, yang menjabat kala itu, spontan mendukung tindakan tegas, represif, serta mengupayakan pendekatan yang ketat atas masalah pengungsi. Elit pemerintah lain juga menuntut tanggapan yang lebih kuat, dan menyerukan lebih banyak tindakan pencegahan.

Level analisis di teliti meliputi negara Prancis yang berada di wilayah regional Eropa dan konflik yang di tawarkan sempat mengalami gejolak yang besar di ranah Internasional yang meliputi antara umat islam yang berada di Prancis dalam menghadapi tindakan islamophobia. Menurut teori Edwar Azar, Konflik sosial yang berlarut (PSC) Protracted Social Conflict menyebutkan bahwa konflik berasal dari Perampasan kebutuhan manusia sebagai sumber PSC (kebutuhan keamanan, pengembangan , akses politik, identitas, hal ini berkolerasi dengan isu Islamophobia di Prancis karena telah merampas keamanan, kebutuhan, dan hak dalam bermasyarakat.

Menanggapi masalah pengungsi, para pemimpin sayap kanan bertekad untuk menuntut diakhirinya gelombang pengungsi yang masuk ke negara tersebut, khususnya yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika. Pemimpin Front Nasional, Marine Le Pen menuntut agar Perancis mengambil kembali kendali atas perbatasan nasionalnya dari Uni Eropa secara permanen, serta memusnahkan fundamentalisme Islam. Dalam sebuah wawancara yang disiarkan sebuah stasiun televisi, ia mengatakan Perancis harus melarang organisasi-organisasi Islamis. beroperasi, menutup masjid-masjid radikal, mencegah para pengkhotbah yang menyebarkan kebencian, serta mengusir imigran gelap. Setelah serangan di Paris yang merenggut ratusan korban, Marine Le Pen semakin gencar menunjukkan pengaruhnya dan terus menyampaikan pesan-pesan seperti  “France and the French are no longer safe,” yang dia lontarkan dalam pidatonya sehari setelah serangan, menuntut tindakan keras terhadap kelompok Islam radikal di negara tersebut. Dapat dilihat bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah Perancis cenderung memusuhi dan mendiskriminasi Islam, membuat jarak di antara nonmuslim dan muslim, serta menyudutkan para imigran. Memang, telah menjadi hal umum di Eropa, khususnya setelah berbagai aksi teror yang terjadi, bahwa orang orang kemudian menyalahkan muslim secara keseluruhan, menuduh Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan yang menyebabkan semua malapetaka yang ditimbulkan oleh para teroris. Banyak dari mereka yang mengekspresikan kecaman mereka lewat Twitter, dan pada saat yang sama menyatakan dukungan mereka untuk menghapus Islam dari masyarakat mereka.

Hal ini terbukti dari tagar “#stopIslam‟ yang menyebar di Twitter segera setelah serangan di Paris, sebagai kutukan bagi Islam dan muslim. Masyarakat umumnya menuding semua muslim atas aksi teror dengan melupakan fakta bahwa banyak. muslim yang juga terbunuh dalam serangan tersebut dan mengabaikan fakta bahwa Islam sebagai agama mengutuk tindakan teror semacam itu. Tragedi serangan paris merupakan duka mendalam bagi pemerintah Perancis. Tragedi tersebut juga telah menciptakan pandangan tidak suka terhadap muslim bahkan tindakan islamophobia berujung kekerasan yang meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelum terjadinya serangan Paris. Inilah salah satu alasan penulis concern dengan isu islamophobia di Perancis. Walaupun sebenarnya fenomena tindak islamophobia bukan hal yang baru dan bukan hal yang mencengangkan di Eropa. Telah banyak tindakan anti-Islam yang terjadi, bahkan sebelum serangan teroris melanda Perancis. Sebut saja pelarangan adzan di Hungaria, pengrusakan masjid di Jerman, serta larangan penggunaan jilbab di Austria dan  Belanda. Namun, Serangan Paris tetaplah sebuah tragedi besar yang memiliki dampak mengerikan bagi kaum minoritas. Tragedi yang semakin meningkatkan permusuhan terhadap Islam di Eropa, sebagaimana yang dilaporkan kepada Parlemen Eropa pada 26 Mei 2015 oleh inisiatif muslim Eropa bidang Kohesi Sosial.

Mayoritas masyarakat dari beberapa negara Eropa, seperti Perancis, Belgia, Jerman, Inggris, dan Belanda merasa prihatin dengan pertumbuhan komunitas muslim di negara mereka. Mereka kemudian menuntut untuk membatasi jumlah imigran yang masuk ke wilayah mereka. Keprihatinan tersebut sesuai dengan laporan kelompok kerja Pemerintah tentang kebencian terhadap muslim yang menunjukkan lonjakan fenomena islamophobia yang mencapai lebih dari 300% dalam seminggu setelah tragedi serangan 13 November 2015 di Perancis. Laporan itu menyebutkan bahwa sebagian besar korban kebencian adalah gadis-gadis muslim dan wanita berusia dari 14 tahun hingga 45 tahun yang mengenakan pakaian Islam, sementara sejumlah besar serangan yang dilaporkan berada di tempat umum, termasuk bus dan kereta api. 

Berbagai penelitian juga berfokus dengan fakta bahwa tumbuhnya tindak islamophobia tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasa namun juga terhadap anak-anak. Keputusan pengadilan Perancis pada 2015 yang meremehkan dan menghinakan pembatasan makanan siswa muslim di sekolah umum adalah sebuah tanda dari berkembangnya islamophobia, bahkan terhadap anak-anak. Tindak diskriminasi juga terlihat dari sikap seorang walikota di Perancis yang mengumumkan bahwa kafetaria di sekolah distriknya tidak akan lagi memberikan alternatif non-babi bagi siswa muslim sementara ada peraturan yang melarang siswa membawa bekal makan siang. Pada tahun 2015, Mahkamah Eropa untuk HAM, sebuah pengadilan internasional yang semestinya bertanggung jawab untuk menegakkan nilai HAM, justru membela dan membenarkan keputusan rumah sakit umum untuk tidak memberbaharui kontrak kerja karyawan mereka yang menolak untuk melepaskan hijabnya. Hal-hal semacam ini sudah merupakan sebuah kenyataan yang di hadapi negara berkembang dengan penduduk yang mayoritasnya non-muslim. akan ada banyak hal yang menimbulkan perselisihan karena perbedaan keyakinan, pemikiran dan lain sebagainya.

Univesitas Darussalam Gontor

Al-Ustadzah Dwi Ardiyanti, S.S, M.A

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline