Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Faizin

UIN Walisongo Semarang

Menelusuri Kearifan Lokal: Dugderan Semarang sebagai Simbol Hadirnya Bulan Ramadan

Diperbarui: 11 Juni 2024   15:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dokumentasi pribadi

Oleh: Muhammad Faizin dan Titi Laras Sekar Utami

Pembimbing: Sri Isnani S.Ag.,M.Hum.

Dugderan merupakan tradisi atau budaya  perayaan menyambut bulan Ramadan yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Jawa Tengah. Tradisi atau upacara ini mencerminkan perpaduan 3 etnis di Semarang, yakni Arab, Jawa, dan Tionghoa. Istilah Dugderan diambil dari kata "Dug", bunyi bedug yang ditabuh dan "Der", bunyi kembang api yang ledakan di langit. Bunyi "Dug" dan "Der" menjadi penanda bahwa akan datang bulan Ramadan.

Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak 1881 M yang kala itu Semarang dipimpin oleh Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Dilatar belakangi perbedaan umat Islam saat itu dalam menentukan hari dimulainya puasa Ramadan, Beliau memberanikan diri untuk menentukan waktu dimulainya puasa Ramadan dengan membunyikan bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten yang masing-masing dibunyikan sebanyak tiga kali. 

Kemudian dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid. Sejak itulah umat Islam di Semarang tidak lagi berbeda pendapat dan menjadikan hal tersebut sebagai budaya lokal setempat.

Dalam buku 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia karya Fitri Haryani menceritakan bahwa perayaan tradisi Dugderan dimulai dengan pemukulan bedug dan ditutup dengan perayaan letusan mercon dan kembang api. Hal tersebut bukan asal dilakukan tanpa sebab, pemukulan bedug memiliki makna sebagai tanda memasuki bulan suci Ramadan. Sementara itu, letusan mercon dan kembang api dimaknasi sebagai kebahagian yang akan datang di akhir bulan puasa dan datangnya Idul Fitri.

Sumber: dokumentasi pribadi

Dalam artikel berjudul Sejarah Dugderan Menyambut Bulan Ramadan di Kota Semarang yang dimuat Gayamsari Semarang Kota, menyebutkan bahwa biasanya waktu pelaksanaan Dugderan dimulai sejak pukul 08.00 pagi hingga Magrib yang diawali dengan penggelaran pasar kaget atau pasar rakyat dan dilanjutkan dengan karnaval, seperti Acara Warak Ngendok yang diikuti oleh arak-arakan mobil. 

Dengan banyaknya pedagang yang menjajakan dagangan yang beraneka ragam seperti, jajanan, makanan, minuman, serta mainan anak-anak, seperti suling dan gangsing mengakibatkan antusias dan rasa ketertarikan bagi warga Semarang.

Sumber : Tim tvOne - Teguh Joko Sutrisno

Mungkin istilah Warak Ngendok terdengar asing bagi masyarakat selain Semarang. Dilansir dari video YouTube Aziz Jajar berjudul Cerita Asal Usul Warak Ngendhok Semarang, bagi mayoritas warga kota Semarang, sosok Warak Ngendok hanya dikenal sebagai mainan berukuran raksasa yang kerap diarak keliling jalan raya di setiap bulan Sya'ban dalam penanggalan Jawa atau jelang perayaan Dugderan di Pasar Johar yang ada di jantung kota lumpia itu. Namun, tak banyak yang tahu bahwa Warak Ngendok sebenarnya dikenal sebagai hewan mitologi yang sakti oleh warga Semarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline