Perlindungan terhadap anak merupakan jaminan yang telah disepakati secara global. Bentuk perlindungan yang dapat diberikan adalah dengan memastikan hak-hak anak terpenuhi di manapun ia berada, termasuk ketika mereka tidak berada di Indonesia. Kerentanan berlapis dialami oleh anak dari Pekerja Migran Indonesia (PMI), terlebih ketika anak harus lahir dan hidup di negara tempat PMI bekerja. Masalah yang paling nyata terlihat adalah munculnya anak tanpa kewarganegaraan. Dengan tidak dimilikinya sertifikat lahir ataupun kewarganegaraan oleh anak, akses anak terhadap kebutuhan dasar hingga layanan pemerintah juga menjadi terbatas. Padahal, jaminan perlindungan terhadap anak harus diupayakan dan menjadi tanggung jawab seluruh pihak.
Tantangan lain yang dihadapi adalah masih enggannya PMI yang masuk secara ilegal melaporkan diri dan keluarganya sehingga upaya penjangkauan kepada anak-anak PMI masih belum maksimal. Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi salah satu negara asal pekerja migran terbesar kedua di wilayah Asia Tenggara. Dalam satu dekade terakhir isu mengenai pekerja migran, terutama mereka yang bekerja di luar negeri mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. Isu pekerja migran sangat strategis selain terkait dengan besarnya jumlah pekerja, juga terdapat kompleksitas permasalahan pekerja migran. Salah satunya adalah permasalahan terhadap akses pendidikan bagi anak-anak pekerja migran di luar negeri, khususnya yang berada di Malaysia.
Permasalahan yang dihadapi anak PMI yang memiliki permasalahan berupa kelengkapan dokumen akan mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan pendidikan yang formal, dan rawan ditangkap oleh petugas imigrasi Malaysia. Faktor lain yang menjadi penghambat anak PMI dalam mengakses pendidikan yaitu jarak tempuh ke sekolah yang memakan banyak waktu, selanjutnya kurangnya kesadaran para orangtua terhadp pentingnya pendidikan anak mereka. Selain itu, keterbatasan tenaga pendidik disana juga menjadi salah satu faktor penyebab banyaknya anak PMI yang belum mendapatkan layanan pendidikan.
Mulai diijinkan dan banyaknya sanggar belajar dan Community Learning Center (CLC) Indonesia di Malaysia bisa menjadi salah satu tititk cerah pemenuhan hak pendidikan anak anak PMI Non Dokumen di Malaysia. CLC adalah solusi untuk memberikan hak warga negara Indonesia tanpa kecuali untuk memperoleh kebutuhan dasar dalam bidang Pendidikan Ketika berada di luar otoritas wilayah seperti anak-anak Non Dokumen di Malaysia. Namun permasalahannya, hasil wawancara dengan salah satu lembaga pendidikan menyatakan anak-anak TKI di Sabah banyak yang belum mengetahui budaya Indonesia dan rendahnya rasa cinta tanah air. Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan dengan kebudayaan Indonesia untuk membangun pendidikan karakter di Sabah. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan siswa untuk mencintai negara Indonesia. Kecintaan siswa pada negaranya akan mewujudkan ketahanan negara. Ketahanan negara adalah kemampuan suatu negara yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana. Dalam konteks tersebut di atas, budaya indonesia menjadi relevan. Anak bangsa di negeri jiran sudah sewajarnya diperkenalkan dengan budaya Indonesia sejak dini.
Para siswa yang datang ke sekolah tidak bisa diibaratkan sebagai sebuah gelas kosong, yang bisa diisi dengan mudah. Siswa tidak seperti plastisin yang bisa dibentuk sesuai keinginan guru. Mereka sudah membawa nilai-nilai budaya yang dibawa dari lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Guru yang bijaksana harus dapat menyelipkan nila-nilai kearifan lokal budaya Indonesia mereka dalam proses pembelajaran. Pendidikan berbasis budaya bangsa tentu akan berhasil apabila guru memahami wawasan kebangsaan itu sendiri. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan sinergitas semua elemen dalam Gerakan Sosial Pengenalan Budaya Indonesia Dalam Menumbuhkan Rasa Nasionalisme Anak TKI di Malaysia.
Pembahasan mengenai PMI ini sendiri telah menjadi fokus dalam berbagai agenda pembangunan, baik oleh para pemangku kepentingan di level nasional maupun global. Secara global, dalam Sustainable Development Goals (SDGs) terdapat 2 (dua) target yang berhubungan dengan jaminan keselamatan pekerja migran, yaitu pada target 8.8 dan target 10.7 SDGs. Target 8.8 SDGs disebutkan bahwa setiap negara perlu: "Melindungi hal hak tenaga kerja dan mempromosikan lingkungan kerja yang aman dan terjamin bagi semua pekerja, termasuk pekerja migran, khususnya pekerja migran perempuan, dan mereka yang bekerja dalam pekerjaan berbahaya.". Selain itu, di target 10.7 SDGs disebutkan bahwa seluruh negara perlu: "Memfasilitasi migrasi dan mobilitas manusia yang teratur, aman, berkala, dan bertanggung jawab, termasuk melalui penerapan kebijakan migrasi yang terencana dan terkelola dengan baik." Di level nasional, isu pekerja migran juga tidak lepas dari perhatian.
Perlindungan PMI turut menjadi fokus pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Bagi negara, kehadiran PMI dapat menunjang pembangunan ekonomi melalui sumbangan devisa. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa PMI perlu dilindungi dari ujung kepala hingga ujung kaki karena telah menyumbang devisa hingga Rp 159,6 triliun di tahun 2019 kepada negara melalui remitansi (Siaran Pers Badan Migran Indonesia (BMI), 2019). Namun, di sisi lain, pada praktiknya banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh PMI sebagai tenaga kerja di negara lain. Dari segi penghasilan, upah PMI sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah yang harus dikeluarkan oleh bangsa kita untuk membayar tenaga asing yang bekerja di Indonesia. Belum lagi, masalah-masalah lain seperti adanya diskriminasi, stigmatisasi, potensi perdagangan orang, ancaman pemutusan kontrak kerja secara sepihak, penipuan, hingga kekerasan.
Hal yang paling nyata terlihat adalah fenomena anak-anak yang lahir di negara luar Indonesia, khususnya Malaysia, akan terancam tidak memiliki kewarganegaraan. Malaysia sebagai negara yang paling dijadikan tujuan utama para PMI, memiliki kebijakan imigrasi yang tidak memperbolehkan pekerja migran untuk membawa keluarga, menikah, hingga memiliki anak selama masih hidup di Malaysia. Belum lagi bagi pekerja migran yang terpaksa masuk ke negara lain secara ilegal dan akhirnya memiliki anak, dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan kesulitan memperoleh kewarganegaraan ataupun sertifikat lahir dari negara tersebut. Dengan tidak dimilikinya sertifikat lahir ataupun kewarganegaraan oleh anak maka akses anak terhadap kebutuhan dasar hingga layanan pemerintah juga menjadi terbatas. Tanpa kewarganegaraan, anak akan kesulitan memperoleh akses ke layanan kesehatan, programprogram bantuan sosial pemerintah dan perlindungan lainnya dari negara. Oleh karena itu, anak akan lebih rentan mengalami tindak tindak kejahatan dan kekerasan seperti eksploitasi, perdagangan orang, hingga praktik pekerja di bawah umur.
Dari berbagai permasalahan dan kasus di atas jelas bahwasanya dibutuhkan suatu gerakan sosial yang menyadarkan semua elemen untuk menumbuhkan rasa nasionalisme Anak TKI di Negeri Malaysia. Kebudayaan Indonesia yang bertemu dengan kebudayaan-kebudayaan bangsa lain yang disebut dengan budaya modern menjadi tantangan yang besar bagi bangsa ini untuk tetap mempertahankan karakter budaya bangsa. Dunia pendidikan dibutuhkan perannya dalam membangun kembali, semangat nasionalisme pada anak bangsa. Peran pendidik besar pengaruhnya dalam menentukan nasib bangsa ini. Apabila seorang pendidik juga ikut terlena dengan kemajuan teknologi dan melupakan nilai-nilai luhur bangsa atau nilai (kearifan lokal), bukan tidak mungkin dalam waktu dekat anak-anak akan hancur. Semua elemen harus bersinergi demi tercapai generasi yang memiliki akhlak dan sikap nasionalisme yang besar.
Gerakan sosial pengenalan budaya adalah gerakan sosial yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkesinambungan guna menumbuhkan rasa nasionalisme anak-anak TKI di Malaysia. Gerakan sosial ini diinisiasi oleh tim pengabdian yang terdiri dari Dosen dan Mahasiswa PGSD Kampus UPI di Cibiru. Adapun program gerakan sosial yang dilaksanakan diantaranya kegiatan pendampingan terhadap pengajar di sanggar dan CLC di Malaysia dalam rangka peningkatan wawasan kebangsaan dan penguatan budaya Indonesia, pelatihan dan workshop penguatan budaya di Indonesia pada anak TKI di Malaysia sehingga dapat lebih mencintai negaranya sendiri, program MBKM Internasional yang dilaksanakan oleh mahasiswa PGSD Kampus UPI di Cibiru selama satu bulan di sanggar dan CLC di Malaysia.
Program pendampingan dilaksanakan dengan memberikan pembekalan mengenai modul kebudayaan Indonesia yang dapat menjadi bahan ajar para pengajar dalam membelajarkan nilai-nilai kebudayaan pada anak-anak TKI, selanjutnya pembekalan mengenai media pembelajaran yang berorientasi pada kecakapan hidup dan peningkatan nasionalisme pada anak-anak TKI, selanjutnya pembekalan mengenai program-program yang dapat dilaksanakan pengajar seperti permainan tradisional, makanan tradisional, festival kebudayaan, hingga gelar karya atau penampilan-penampilan tarian tradisional.