Guru! "Digugu lan ditiru".
Ungkapan dari semua orang yang sudah menjustifikasi secara global bahwa seorang guru, siapapun dia, berlatar belakang apapun dia, apapun latar belakang pendidikannya, maka seorang guru wajib hukumnya dapat "digugu" dan "ditiru". Dengan label orang yang harus dapat "digugu" dan "ditiru", maka seorang guru harus menjadi suri tauladan dari masyarakat yang ada di sekitarnya mulai dari keluarga, tetangga dan siswa-siswanya.
Label orang yang dapat "digugu" dan "ditiru" menjadi "beban" atau menjadi "penyemangat"?. Pastilah akan menjadi" beban" "super berat" kalau sang guru menjadi guru karena keterpaksaan. Jadi guru karena sudah kesana kemari melamar pekerjaan, akan tetapi tidak ada balasan. Kalaupun ada balasan, maka penolakan yang dia terima. "Terpaksa" jadi guru
Apakah label "digugu" dan "ditiru" bisa menjadi "penyemangat" bagi sang guru?.
Siapapun kita (Guru) yang telah mendedikasikan diri sebagai seorang guru, entah karena jadi guru karena "keterpaksaaan" atau karena "keridlaan dan keiklasan", maka dimoment hari guru tahun 2020 ini haruslah merubah diri menjadi lebih baik lagi. Yang merasa terpaksa, karena "Anda" sudah "terlanjur" jadi guru maka harus segera mengeluarkana energi positifnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Perbaiki watak dan kepribadian kita sebagai guru. Guru harus disiplin, guru harus taat aturan, guru harus memiliki etos kerja yang tinggi, guru harus memiliki kemampuan yang lebih, Guru harus berkelakauan yang baik, guru harus taat akan perintah agamanya, guru harus..... harus dan harus lebih baik dari orang yang ada di sekitarnya.
Tidak bisa kita bayangkan kalau ada seorang guru yang disiplinnya rendah, maka akan menjadi bahan pergunjingan, cemoohan orang disekitarnya. kalau ada guru yang tidak taat aturan (misalkan berkendaraan sepeda motor tidak memakai helm), pasti banyak yang mencemooh "Guru kok ora heleman, guru kok ora iso digugu lan ditiru".
Label guru yang bersandar pada kita menjadi cermin masyarakat sekitar. artinya setiap tindak tanduk guru, pastilah akan mendapatkan penilaian dari masyarakat sekitar. Kalau ada guru yang memiliki watak yang baik, ya wajarlah karena dia guru (Gumam masyarakat). Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat kita, sosok guru biasanya dinomorsatukan dan diharapkan menjadi garda terdepan di setiap acara. Sebagai pemimpin rapat, maka sosok gurunya yang dikedepankan. Pada saat sholat berjamaah di masjid atau musola, pasti "Monggo pak guru sebagai imam". Ketika pemilihan ketua panitia, pastilah guru yang ditunjuk. Pendek kata kata acara apapun, biasanya guru yang dipersilahkan terlebih dahulu.
Terus bagaimana kita sebagai guru selama ini (terutama penulis)? Sudah bisakah menjadi guru yang benar-benar bisa digugu dan ditiru?. Sudah "Fulltime' kah pikiraan kita sebagai guru, sudah maksimalkan ketika kita mengajar? Sudah Totalitaskah kita sebagai guru?. Sudahkah kita memberikan contoh yang baik atau sebaliknya?. Pernahkan kita guru lalai dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar?. Pernahkan kita menilai anak tidak sesuai dengan kenyataan siswa?.
Kalau belum "Fulltime' pikiraan kita sebagai guru, kalau belum maksimal kita mengajar, Kalau belum totalitas sebagai guru, kalau belum dapat memberikan contoh yang baik, kalau kita guru pernah lalai dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dan kalau kita pernahkan kita menilai anak tidak sesuai dengan kenyataan siswa, maka pada moment hari guru tahun ini kita wajib TAUBAT. Karena kita telah menerima gaji sebagai guru, apalagi kita telah mendapatkan sertifikasi. Setiap kepemimpinan pasti ada pertanggungjawabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H