Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ashar

Anggota Himpunan Pelajar Mahasiswa Takalar (Hipermata)

Monitoring Transparansi dan Efisiensi Anggaran Perikanan Takalar yang Berkeadilan

Diperbarui: 11 Oktober 2024   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Isu daerah sering kali tidak mendapat perhatian yang cukup karena berbagai faktor, termasuk rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses advokasi lokal serta minimnya pemberitaan media yang fokus pada pentingnya isu-isu lokal. Isu-isu di tingkat pusat lebih sering mendominasi wacana publik, sehingga permasalahan daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Takalar, cenderung terabaikan. Padahal, isu daerah adalah yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dan sering kali berdampak langsung pada kesejahteraan.Banyak daerah di Indonesia masih bergantung pada pemerintah pusat, meskipun sudah ada sistem desentralisasi yang seharusnya mendorong kemandirian daerah. Sayangnya, ketergantungan ini masih sangat terasa. Misalnya, di Kabupaten Takalar, tren pendapatan daerah dari tahun 2022 hingga 2024 menunjukkan bahwa sumber utama pendapatan masih berasal dari dana transfer pemerintah pusat. Pada tahun 2024, total transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang diterima Takalar mencapai Rp 956,25 miliar.Fakta ini mengindikasikan bahwa Takalar belum sepenuhnya mandiri dalam menggali dan memanfaatkan potensi asli daerah. Ketergantungan ini menjadi tantangan besar dalam mendorong pembangunan daerah yang berkelanjutan. Kemandirian daerah bukan hanya soal keuangan, tetapi juga kemampuan untuk menggali sumber daya lokal, memberdayakan masyarakat, dan menciptakan inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Takalar sebesar 264,74 miliar proporsinya masih relatif kecil dibandingkan dengan dana transfer. Hal ini menandakan bahwa Takalar masih belum mampu sepenuhnya memaksimalkan potensi sumber daya lokal untuk menopang pembangunan daerah.

Meskipun otonomi daerah telah diberikan untuk meningkatkan kemandirian pemerintah lokal, masih banyak daerah yang belum mampu sepenuhnya mengelola anggaran mereka secara mandiri. Hal ini terlihat dari proyek-proyek strategis yang sering kali masih membutuhkan dukungan dana dan teknis dari tingkat provinsi. Ketergantungan ini dapat mempengaruhi kecepatan pembangunan, kualitas pelayanan publik, dan alokasi sumber daya yang sesuai dengan prioritas lokal.

Setelah meneliti lebih dalam, terdapat beberapa miss anggaran proyek yang dananya dicover langsung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan sehingga anggaran dana Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar memperlihatkan ketidak kompetenan pemerintah kabupaten merincikan anggarannya. Ketergantungan pemerintah daerah terhadap proyek yang langsung dianggarkan oleh pemerintah provinsi menunjukkan adanya kelemahan dalam kemandirian fiskal dan manajemen keuangan di tingkat daerah.

Dilema Perikanan Takalar

Sektor perikanan merupakan salah satu sumber daya andalan Kabupaten Takalar. Namun, menurut kajian dari Transparency International Indonesia (TII) terkait eksploitasi sumber daya alam dan dampaknya terhadap masyarakat pesisir, terdapat sejumlah masalah yang perlu segera diselesaikan oleh pihak berwenang. Salah satu temuan dalam kajian tersebut adalah pembangunan infrastruktur besar, seperti proyek strategis nasional dan pembangunan infrastruktur pesisir, yang sering kali mengambil alih lahan nelayan tradisional. Alih fungsi lahan ini justru memperparah kesulitan ekonomi masyarakat pesisir yang mengandalkan laut sebagai sumber penghidupan.

Isu ini juga berkembang di Desa Laikang, Kecamatan Mangarabombang, di mana masyarakat pesisir mulai khawatir dengan keberlangsungan hidup mereka. Hal ini disebabkan oleh adanya dugaan perusahaan yang akan masuk untuk pembangunan smelter dan pelabuhan, yang berpotensi mengancam mata pencaharian masyarakat setempat terutama para petani rumput laut.

Padahal di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), melihat potensi besar di wilayah ini dan menetapkan Desa Laikang sebagai Kampung Perikanan Budidaya Rumput Laut. Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar, Desa Laikang memiliki potensi lahan budidaya seluas 10 ribu hektare, dengan 3.773 hektare yang telah dimanfaatkan. Pada tahun 2021, produksi rumput laut dari Desa Laikang mencapai 195.399,03 ton, atau sekitar 32 persen dari total produksi rumput laut Kabupaten Takalar. Data ini menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Laikang sangat bergantung pada laut sebagai sumber utama penghidupan mereka.

Alokasi Anggaran Yang Kurang Berkeadilan

Permasalahan ini tidak terlepas dari penganggaran dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar yang selama ini menunjukkan ketidak berpihakan kepada nelayan kecil dan masyarakat pesisir. Pemantauan anggaran belanja daerah yang dilakukan oleh Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Takalar (Hipermata) pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar Tahun 2024 menunjukkan kesenjangan dalam belanja anggaran dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar yang lebih banyak memprioritaskan gaji pegawai dibanding kesejahteraan nelayan, hal ini mencerminkan masalah serius dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih kurang mendapatkan perhatian oleh instansi yang seharusnya bertanggung jawab terhadap hal tersebut. Ketika sebagian besar anggaran dialokasikan untuk birokrasi, hal ini dapat menunjukkan kurangnya fokus pada kebutuhan utama sektor perikanan, yang seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kehidupan nelayan dan memperkuat sektor kelautan.

Penggunaan anggaran secara tidak tepat menciptakan kesenjangan kesejahteraan antara pegawai pemerintahan dan komunitas nelayan, yang sering kali menjadi tulang punggung ekonomi daerah. Temuan monitoring yang dilakukan oleh Hipermata pada dokumen Peraturan Bupati Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Takalar Tahun Anggaran 2024, pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar mendapati sejumlah temuan penting akan adanya kesenjangan yang cukup jauh, dengan rincian Program Penunjang Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebanyak 76% dari keseluruhan dana anggaran. Sedangkan Program Pengelolaan Perikanan Budidaya hanya 9%, Program Pengelolaan Perikanan Tangkap 11%, dan Program Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan sebanyak 3%. Data alokasi anggaran ini menunjukkan ironi yang cukup kental mengenai penganggaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar. Berdasarkan rincian peraturan belanja pegawai maksimal yang dirilis oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah yang menyatakan bahwasanya alokasi belanja pegawai maksimal adalah 30% dari anggaran, data tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Takalar yang melebihi dua kali lipat dari 30%.

Ketika dana yang seharusnya diperuntukkan bagi nelayan dan masyarakat pesisir dialihkan ke pengeluaran birokrasi, harapan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan nelayan menjadi semakin sulit terwujud. Penting bagi pemerintah untuk menyeimbangkan alokasi anggaran dengan lebih adil. Pengawasan yang lebih ketat, transparansi dalam pengelolaan dana, serta keberpihakan pada program-program yang langsung mendukung kehidupan nelayan, seperti rehabilitasi pelabuhan, penyediaan subsidi alat tangkap, dan pelatihan keterampilan, seharusnya menjadi fokus prioritas anggaran.
Pemantauan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline