Dalam menjalani aktivitas keseharian, kita pasti pernah menjumpai seorang yang mempunyai tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan keluarga. Mulai dari kebutuhan sekolah anak hingga biaya hidup orang tua sampai biaya hari tua untuk kakek-nenek. Nah, orang-orang yang berada dalam kondisi tersebut memiliki julukan khusus, yaitu “Generasi Sandwich”. Tidak seperti generasi z atau generasi milenial yang diberi nama julukan berdasarkan waktu kelahiran, generasi sandwich dinamakan berdasarkan kondisi finansial yang dialami oleh seseorang
“Generasi Sandwich” merupakan istilah penggambaran fenomena sosial dimana posisi finansial dan emosional sesorang terhimpit oleh generasi diatas dan generasi dibawahnya. Generasi atas misalnya orang tua, nenek, atau saudara lebih tua, sedangkan Generasi bawah bisa seperti anak-anak atau cucu, yang bisa jadi biaya yang ditanggung lebih besar dari biaya inti dirinya sendiri (Rahman & Wongkaren, 2023). Sehingga generasi sandwich menghidupi 3 generasi sekaligus, yaitu generasi atas, generasi bawah dan dirinya sendiri. Dampaknya bagi mereka yang berada dalam posisi ini akan lebih rentan mengalami depresi maupun kelalahan fisik dan mental. Di Indonesia sendiri rasio ketergantungan penduduk terhadap masyarakat usia produktif tergolong sangat tinggi, yaitu mencapai 44,67% menurut data BPS tahun 2022. Artinya setiap 100 orang di Indonesia, ada 44 orang yang hidupnya bergantung kepada orang lain yang berada pada usia produktif, dimana 77,8% merupakan lansia yang kebutuhan hidupnya masih ditopang oleh angggota keluarga yang masih bekerja (Nuryasman Mn & Elizabeth Elizabeth, 2023). Rasio ini termasuk tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang pada umumnya memiliki struktur sosial masyarakat yang lebih mandiri secara finansial berdasarkan sudut pandang ekonomi. Hal ini tentu menjadi fenomena yang tidak sehat karena idealnya, seseorang yang bekerja hanya perlu untuk menafkahi anggota keluarga inti saja. Fenomena generasi sandwich inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di Indonesia.
Ada 2 faktor utama yang menyebabkan fenomana ini terjadi lebih parah di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain:
1.Sistem uang pensiun dan jaminan sosial hari tua. Beberapa negara maju seperti Kanada, Swedia, Norwegia, dan banyak negara lain memiliki sistem jaminan hari tua untuk penduduknya yang sudah mencapai masa lanjut usia. Biaya kebutuhan hidup dan pengobatan mereka ditanggung oleh negara, sedangkan sisa dari uang pensiun bisa mereka nikmati untuk keperluan lain. Sedangkan di Indonesia, mayoritas pensiunannya masih harus bekerja dengan berdagang atau bergantung kepada anak-anaknya yang masih bekerja.
2.Faktor kedua yaitu kurangnya kesadaran akan perencanaan finansial jangka Panjang. Mayoritas penduduk di Indonesia memiliki kesadaran yang rendah akan pentingnya persiapan finansial untuk hari tua. Kebanyakan dari mereka hanya mengandalkan pencairan JAMSOSTEK atau BPJS Ketenagakerjaan. Banyak juga yang terlalu berharap dengan uang pensiun dari perusahaan tempat mereka dulu bekerja dan tidak jarang juga yang berharap pembiayaan dari anak-anak atau menantu sebagai bentuk balas budi karena sudah dibesarkan dan dirawat sejak kecil. Namun pada kenyataannya pencairan JAMSOSTEK atau BPJS Ketenagakerjaan belum tentu memberikan dana pensiun yang layak, terlebih jika sampai 10-20 tahun setelah pensiun para lansia terlalu bergantung pada anak-anaknya sehingga menciptakan generasi sandwich bari di masa depan (Pratama, n.d.).
Sebenarnya akar dari permasalahan ini adalah literasi keuangan yang rendag pada generasi lama. Namun kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan generasi orang tua kita, karena memang pendidikan generasi lama belum terlalu mendalami tentang manajemen keuangan yang baik. Harus diakui bahwa pemerintah memiliki peran dalam ekonomi Indonesia dimana mereka belum bisa memberikan sistem pensiun dan jaminan hari tua yang baik.
Sekarang adalah tugas kita sebagai generasi muda untuk dapat memutus rantai generasi sandwich. Terlebih pada tahun 2045 nanti generasi muda sekarang inilah yang akan mewujudkan “Indonesia Emas 2045”. Maka untuk memutus rantai generasi sandwich diperlukan tindakan yang tepat.
Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk dapat memutus generasi sandwich:
1.Pelajari polanya. Kita bisa membedah dan menganalisa mengapa bisa terjadi generasi sandwich, semua sebab pasti ada akibatnya. Bisa jadi mungkin ada kesalahan finansial yang dilakukan oleh generasi diatas kita, entahkarena kecerobohan sendiri atau karena meniru manajemen keuangan yang diajarkan2.Belajar tentang literasi keuangan. Seringnya masalah keuangan bukan berasal dari rendahnya income yang didapat, tapia da pada bagaimana cara kita mengelola keuangan. Terlebih saat ini sudah banyak media penunjang pembelajaran tentang keuangan.3.Berani mengurangi pengeluaran dan menambah penghasilan. Langkah ini bisa dilakukan dengan mulai menabung, lalu menggunakan uang tabungan untuk sesuatu yang produktif, bukan konsumtif.
Dengan mengikuti langkah-langkah ini, semoga rantai generasi sandwich bisa segera terselesaikan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia terutamna pada generasi muda untuk dapat memahami pentingnya melakukan literasi keuangan dan mancapai kebebasan finansial yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Nuryasman Mn & Elizabeth Elizabeth. (2023). Generasi Sandwich: Penyebab Stres Dan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Keuangan. Jurnal Ekonomi, 28(1), 20–41. https://doi.org/10.24912/je.v28i1.1322
Pratama, G. (n.d.). RI Diprediksi Dipenuhi Sandwich Generation di 2045, Bagaimana Antisipasinya? https://infobanknews.com/ri-diprediksi-dipenuhi-sandwich-generation-di-2045-bagaimana-antisipasinya/
Rahman, A., & Wongkaren, T. S. (2023). Pengaruh modal sosial terhadap kebahagiaan generasi sandwich di Indonesia. Jurnal Kependudukan Indonesia, 17(2), 143. https://doi.org/10.14203/jki.v17i2.675