Sekitar sebulan lalu, tokoh Papua Freddy Numberi menyatakan bahwa bendera bintang kejora yang dikibarkan para demonstran di depan Istana Negara pada 29 Agustus 2019 adalah bendera kebudayaan Papua. Dan beberapa pihak yang mengerti kebudayaan Papua ikut mengamini. Hal ini cukup bisa diperdebatkan mengenai eksistensi bendera bintang kejora yang menurut perkembangan sejarah dan politiknya merupakan representasi Organisasi Papua Merdeka.
Presiden Abdurrahman Wahid pernah menjadikan bendera ini sebagai bendera 'umbul-umbul' dan tinggi bendera bintang kejora tak boleh lebih tinggi dari bendera merah putih.
'Umbul-umbul' atau bendera kebudayaan sebenarnya cukup banyak di Indonesia. Bendera kerajaan atau kesultanan yang ada di Indonesia statusnya adalah bendera kebudayaan yang tingginya tak bisa lebih tinggi dari bendera merah putih seperti bendera Kesultanan Tidore, Makassar, Buton, dan Bone. Begitu juga dengan bendera suku Bajo yang mempunyai Ula-Ula Sama.
Keberadaan bendera-bendera tersebut dianggap bukan bendera seperatis selama tidak pernah menyatakan sebagai gerekan kemerdekaan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bendera merupakan representasi dari identitas masyarakat atau organisasi. Merah putih adalah representasi masyarakat Nusantara sejak ribuan tahun lalu dengan konsep getah-getihnya.
Berbeda dengan kerajaan besar, banyak kerajaan kecil di Nusantara yang awalnya tak memiliki bendera yang spesifik namun pengaruh dari berbagai lini membentuk bendera-bendera yang motif berbeda-beda.
Walaupun begitu, motif merah putih menjadi motif utama bagi sebagain besar kerajaan di Nusantara dan kesakralan bendera merah putih bisa dibaca di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia di mana banyak orang yang rela tewas demi mempertahankan merah putih berkibar.
Posisi bendera merah putih menjadi bendera nasional Indonesia dan semua bendera lain kedudukannya harus di bawah bendera ini. Hal inilah yang membuat bendera apapun harus di bawah bendera sang saka.
Penyebutan bendera oleh beberapa pihak dirasa beraroma seperatis sehingga banyak yang lebih suka penyebutan pataka atau umbul-umbul untuk menurunkan statusnya sebagai simbol dari organisasi atau kebudayaan. Masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang hidup di laut dan pesisir pantai di sebagian wilayah di lautan di Indonesia Timur mempunyai ula-ula sama yang sering disalah artikan sebagai bendera.
Sebutan bendera Bajo dimunculkan oleh antropolog Prancis, Francis Zacot yang melakukan penelitian di kampung Bajo Torosiaje di Gorontalo puluhan tahun lalu dan dianggap salah besar oleh banyak kepala adat Bajo karena masalah penerjemahan dari bahasa Bajo ke Prancis dan Prancis ke Indonesia. Panji kabasaranta Sama atau Panji Kebesaran Bajau merupakan nama yang benar menurut para kepala adat Bajo.
Selama ini masyarakat Bajo membuat ulu-ulu sama yang berdasarkan interpretasi mereka terhadap umbul-umbul orang Bajo yang diyakini ada di zaman dahulu. Berbeda dari masyarakat yang ada di Nusantara, masyarakat Bajo menyebut diri mereka sebagai orang Sama yang berarti orang bebas dan tak punya kekuatan politik kerajaan di masa lalu.