Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Farizal Arbani

Mahasiswa ITS Mandala, Pengurus PMII Komisariat ITS Mandala

Apa Salahnya dari Mahasiswa yang Berorganisasi dan Berdemonstrasi?

Diperbarui: 2 September 2024   15:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Organisasi PMII Komisariat ITS Mandala

Belakangan ini rakyat Indonesia hampir di berbagai daerah melakukan aksi turun jalan, aksi turun jalan yang dilakukan bukan hanya diikuti masyarakat sipil tetapi juga kalangan mahasiswa. namun dalam hal ini saya tidak ingin berbicara panjang tuntunan aksi, tapi lebih kepada stereotip yang dilekatkan pada mahasiswa organisatoris (aktivis) yang turun jalan. 

Hampir di setiap kampus mahasiswa organisatoris yang turun jalan selalu dikaitkan dengan nilai IPK turun atau akademisnya tak diurus, acap kali mereka di cap sebagai pembuat onar dilingkungan kampus oleh kalangan mahasiswa apatis atau dosen yang mencari keuntungan hanya karena keberanian mereka berdebat tentang aturan atau keberaniannya menyampaikan kebenaran, lalu apa kabar dengan mahasiswa kesayangan dosen yang lulus tidak tepat waktu, presentasi tugas atau skirpsi ala kadarnya (sekedar membaca PPT dilayar) namun hal itu dianggap lazim oleh dosen meskipun kelakuan dikelas seperti siswa belajar membaca, asal mau nurut dan patuh terhadap perintah, maka akan disanjung dan dipuji untuk dijadikan orang nomor satu dikelas dan berprilaku sebaliknya terhadap mahasiswa yang latar belakangnya aktivis.


Fungsi mahasiswa sebagai agent perubahan dan agen of social control hanya menjadi narasi retorik jika kampus hanya fokus mencetak mahasiswanya menjadi pekerja, karena tak mampu mengejawantahkan gelar akademisnya,  apa ini yang dimaksud bung Karno beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia? tentu tidak! mahasiswa sebagai agen perubahan dan penyambung lidah rakyat bukan mereka yang tempat belajarnya terpenjara di ruang kelas, mementingkan dirinya sendiri, fokus menata karir hingga tak perduli nasib bangsanya. namun dalam tulisan ini tidak ada yang saya salahkan karena setiap insan punya tujuan hidup masing-masing, hanya saja saya teringat lagi pepatah bung Karno "mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat" apa bisa diterjemahkan dilingkungan kampus yang mengurung kebebasan mahasiswanya berorganisasi?  lalu dengan bangga petuah mereka buat "jangan ikut organisasi, apalagi organisasi ekstra nanti lulusnya telat, IPKnya turun, terlalu banyak rapat" dan lain sebagainya, padahal aktivitas organisasi bukan hanya seputar rapat akan tetapi ada lingkaran diskusi yang pembahasannya mulai dari mata kuliah, isu regional, nasional bahkan isu global mereka soroti, bukankah ini akan membentuk karakter Mahasiswa lebih mandiri dan terbukanya wawasan kebangsaan. mirisnya disebuah kampus ketika mahasiswa organisatoris yang telat lulus masa studinya penuh penghakiman dengan masa depan yang suram dan dipersonalisasikan sebagai orang yang gagal, apa ini adil? bagaimana jika selama jenjang pendidikan mereka harus mengais rupiah untuk menyambung pendidikan dan bertahan di hari esok? mungkin fakta diatas sulit diterima dikalangan mahasiswa atau dosen yang masa kuliahnya hidup berkecukupan, sehingga mudah bagi mereka kalimat "pembuat onar" dialamatkan pada mahasiswa aktivis apalagi lulusnya telat.


Mari saya coba tarik mundur pembahasan ini pada peradaban bangsa kita, dimana narasi Reformasi belum berkumandang,  tindak kejahatan, kriminal, pemerkosaan massal, korupsi, kolusi dan nepotisme menjarah di setiap sudut bangsa. dalam hal ini peran mahasiswa  menuju Reformasi sangat signifikan dan bersejarah. Mahasiswa dianggap sebagai agen perubahan sosial karena mereka memiliki idealisme, semangat, dan keberanian untuk menentang ketidakadilan dengan bekal pendidikan dan kejujuran. Beberapa diantaranya peran mahasiswa aktivis yang bisa saya sebut dan jelaskan:

Aksi mahasiswa yang tergabung dalam organisasi PMII bersama masyarakat getem "tolak tambang modern di wilayah pesisir".

Pemicu Gerakan Massa: Mahasiswa menjadi katalisator dalam menggerakkan massa untuk menuntut perubahan. Mereka mampu mengorganisir demonstrasi besar-besaran yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Pusat Kesadaran Politik: Melalui diskusi, seminar, dan kajian kritis, mahasiswa meningkatkan kesadaran politik di kalangan mereka sendiri dan masyarakat luas. Mereka menantang narasi resmi pemerintah yang ber indikasi penindasan dan menawarkan alternatif sebagai jalan tengahnya.


Koordinasi Aksi: Mahasiswa tidak hanya bergerak secara sporadis, tetapi mereka juga membentuk organisasi dan aliansi untuk memperkuat gerakan. Mereka mendirikan organisasi seperti Senat Mahasiswa, dan organisasi aliansi lintas kampus untuk mengkoordinasi aksi nasional.
Advokasi Hak Asasi Manusia: Mahasiswa sering kali menjadi juru bicara bagi isu-isu hak asasi manusia, memperjuangkan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan penghentian kekerasan oleh aparat negara.


Simbol Perlawanan: Dalam banyak kasus, mahasiswa menjadi simbol perlawanan terhadap rezim yang otoriter dan korup. Keberanian mereka dalam menghadapi kekuatan negara menjadi inspirasi bagi kelompok lain.


Pengorbanan Nyawa: Sejarah mencatat bahwa banyak mahasiswa yang menjadi korban kekerasan selama aksi demonstrasi. Namun, pengorbanan mereka justru menguatkan tuntutan untuk perubahan.


Menggulingkan Rezim: Puncak dari gerakan mahasiswa adalah berhasil menggulingkan rezim orde Baru (ORBA) pada tahun 1998.
Demonstrasi besar-besaran yang dipimpin mahasiswa memaksa Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri setelah lebih dari 30 tahun berkuasa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline