Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Badan Bank Tanah dan Hak untuk Tidak Kesepian

Diperbarui: 23 Januari 2025   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaksanaan senam bersama di Lapangan Alun-Alun Garut | Foto oleh Anggana Mulia dari Diskominfo Garut

Tidak ada yang menduga akan menjadi seperti ini. Pada mulanya, itu adalah lapangan sepak bola yang tidak terawat. Rumputnya setinggi lutut orang dewasa, membuat bola (apalagi para pemain) kesulitan bergerak. Lapangan ini lebih mirip padang rumput penggembalaan daripada arena olahraga. Tanpa dinding atau sekadar jaring yang membatasinya, bola sering kali melenceng ke sawah di sebelah selatan atau, lebih buruk lagi, ke jalan raya di sebelah utara.

Terkadang lebih capek mengambil bola dibandingkan bermain bola itu sendiri.

Kendati begitu, pada tahun 2018, lapangan tersebut berubah menjadi semacam alun-alun bagi kampung kami. Permukaannya ditutupi oleh rumput taman. Setiap sisi dipagari oleh berbagai jenis tanaman hias. Tempat duduk mengitarinya, yang memungkinkan orang berjemur sinar matahari saat pagi.

Sebuah panggung beton dibangun di sebelah timur, sementara di pinggirnya terdapat kolam kecil yang cukup untuk tujuh anak bermain air, belasan anak jika hanya berendam. Yang paling mengagumkan, ada "sub-lapangan" di sebelah barat untuk permainan mini-soccer.

Setiap hari, khususnya kala sore ketika jam kerja berakhir dan cahaya matahari sangat kondusif untuk aktivitas outdoor, alun-alun ini senantiasa semarak. Warga, baik dari dalam ataupun luar desa kami, berduyun-duyun datang untuk tujuan yang beragam. Beberapa hanya mencari tempat yang tenang untuk mengobrol dan bersantai setelah hari yang melelahkan, biasanya sambil menikmati kopi dan umbi-umbian yang dijual oleh pedagang kaki lima di sepanjang pintu masuk.

Ada yang berkunjung untuk berolahraga, entah jogging sore atau bermain bulutangkis (jika angin sedang bersahabat, tentu saja). Ada pula yang, seperti ibu saya, hanya jajan dan pulang lagi. Pada hari Minggu, lapangan berubah menjadi festival jajanan dengan aneka kegiatan lainnya, seperti konser musik dan (terkadang hanya) acara senam. Saya merasa indeks kebahagiaan kampung kami meningkat.

Namun, kurang dari setahun, perubahan terjadi lagi dan bukan ke arah yang kami inginkan.

Pagar besi mulai dibangun mengelilingi perimeter. Seluruh permukaan, kecuali lintasan lari, mulai diratakan dengan semen. Pintu masuk, yang awalnya berupa gapura terbuka 24/7, diganti menjadi gerbang besi besar yang bahkan tidak memungkinkan orang untuk memanjatnya. Tepat di sebelahnya terdapat sebuah bangunan kecil persegi panjang yang kami kira sebagai pos satpam.

Perlu waktu lama bagi kami untuk akhirnya mengerti bahwa lapangan tersebut telah diprivatisasi dan dikomersialisasi. Pagar dan gerbang besi mengisyaratkan bahwa sekarang hanya orang-orang yang membayar saja yang diperbolehkan masuk. Bangunan kecil persegi panjang itu ternyata loket karcis. Lapangan kami memang menjadi lebih mewah dibandingkan sebelumnya, tetapi, seperti yang diutarakan oleh salah satu sesepuh kami, warga kampung telah dikecualikan.

Kami telah kehilangan satu-satunya "ruang keluarga" kami, dunia kolektif kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline