Mengapa seseorang memilih golput dalam pemilu? Mungkin ia merasa bahwa, sebagai satu dari ratusan juta pemilih, suaranya tak akan mengubah apa pun. Jadi, ditambah dengan pengorbanan waktu untuk memikirkan calon dan pergi ke TPS, golput tampak "rasional".
Mungkin ia memang tak tertarik pada politik. Ia berpikir bahwa memilih adalah hak dan bukan kewajiban warga negara. Mungkin, sebagai medioker yang telah lama muak terhadap sistem, ia menjadi apatis pada ritual demokrasi apa pun, terutama pemilu.
Tapi, menurut penelitian terbaru, seseorang mungkin golput karena merasa kesepian.
Studi Alexander Langenkamp "Lonely Hearts, Empty Booths? The Relationship between Loneliness, Reported Voting Behavior and Voting as Civic Duty", yang diterbitkan tahun 2021 di Social Science Quarterly, menyediakan bukti empiris atas korelasi aneh tersebut.
Langenkamp meneliti tentang apakah kesepian membuat seseorang merasa tak wajib, dan dengan demikian enggan, untuk memilih dalam pemilu. Hasilnya sangat mengejutkan: orang yang kesepian lebih kecil kemungkinannya untuk memberikan suara.
Mengapa bisa begitu? Kita bisa memulainya dari lingkaran setan kesepian.
Bagi mereka yang mengalami kesepian akut dan berkepanjangan, tak ada cara mudah untuk mengakhiri kesepian. Mereka biasanya (secara tak sengaja) malah melanggengkan kesepian dan kesedihan mereka, bahkan memperburuknya.
Kesepian menjadikan mereka selalu waspada, siap menghadapi kekecewaan dan penolakan yang mereka yakini akan datang. Masalahnya, karena pikiran mereka terdistorsi, ramalan ini seolah terpenuhi dengan sendirinya.
Mereka mungkin berpikir seperti ini: "Ya Tuhan, sepertinya mereka akan menolak ajakanku. Ah, pasti begitu. Bagaimana jika mereka menerima undanganku untuk bertemu di kafe, tapi ternyata mereka malah asyik sendiri dan mengabaikanku?"
Akhirnya, mereka membatalkan semua niatnya untuk menghubungi orang lain, mengisolasi diri lebih lama lagi, hanya meringkuk di ranjang atau sofa; singkatnya, karena lebih berfokus pada sinyal penolakan, kesepian mereka memburuk.