Saat ini kita punya lebih banyak informasi di ujung jari kita ketimbang para pendahulu kita, tapi kita juga punya lebih banyak berita palsu. Inilah masa ketika gagasan tentang adanya fakta dipertanyakan secara serius, dan bukan untuk alasan yang bagus.
Meski didukung banyak bukti ilmiah, beberapa orang tetap bersikeras bahwa perubahan iklim tidaklah nyata. Pada akhir Maret 2020, ketika orang-orang di seluruh dunia berada dalam karantina wilayah akibat pandemi Covid-19, orang meributkan apakah 5G aman.
Tak peduli berapa banyak penelitian ilmiah yang menyimpulkan bahwa vaksin itu aman, dan tak ada hubungan antara imunisasi dan autisme, kelompok anti-vaksin tetap bergeming. Dan sebagian dari kita mungkin sudah bosan mendengar argumen Bumi datar.
Menjelang Pemilu 2024, orang-orang yang keras kepala seperti itu mungkin akan memenuhi ruang diskusi publik, membombardir kita dengan statistik dan angka-angka karangan mereka sendiri. Istilah "fakta alternatif" mungkin akan tiba juga di Indonesia.
Pada kontes elektoral sebelumnya seperti Pilgub Jakarta 2017 dan Pemilu 2019, black campaign dan berita hoaks berkontribusi besar terhadap polarisasi masyarakat, sering kali memengaruhi (kalau bukan menentukan) keputusan pemilih. Hoaks tampaknya bekerja lebih kuat daripada fakta.
Saya tak bilang hal itu akan menentukan hasil pemilu di Indonesia; ada kekuatan yang jauh lebih menentukan. Bagaimanapun, saya menduga ini adalah dinamika marjinal tapi signifikan dalam menggeser agenda dan memobilisasi dukungan untuk kandidat tertentu.
Jawaban yang paling sering diajukan atas masalah ini adalah menghadirkan lebih banyak fakta. Tapi saya pikir jawaban ini salah diagnosis. Menjejalkan fakta pada masyarakat dan menyingkapkan ketidaktahuan mereka malah berpotensi menjadi bumerang.
Mengapa fakta saja tak cukup?
Meskipun menggoda untuk melawan kebohongan dengan fakta, sedikitnya ada tiga masalah dengan strategi tersebut.
Pertama, kebohongan yang sederhana bisa mengalahkan serangkaian fakta yang rumit hanya karena lebih mudah dipahami dan diingat. Keraguan, sekecil apa pun itu, bisa meruntuhkan (atau menangguhkan) fakta-fakta yang sebelumnya mengisi pikiran kita.
Sekali kita mendengar klaim yang tak benar, kita tak akan bisa mengabaikannya begitu saja. Apalagi jika kebohongan atau sanggahan terhadap fakta mengambil alih siklus berita: mengulang-ulang klaim yang salah bisa membuatnya melekat.