Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Alasan Mengapa Saya Bukan Seorang Stoik

Diperbarui: 21 Agustus 2023   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patung berkuda Kaisar Marcus Aurelius di pusat Piazza del Campidoglio | Gambar oleh Serghei Topor via Pixabay

Beberapa tahun ini, buku-buku tentang Stoikisme telah membanjiri pasar self-help. Jika Anda memasuki toko buku, bacaan Stoikisme biasanya dipajang paling depan. Orang-orang yang tadinya tak mengenal aliran filsafat ini akhirnya jadi tertarik untuk membeli.

Karya para filsuf Stoa diterjemahkan secara masif ke dalam bahasa Indonesia, terutama karya Marcus Aurelius, Epictetus, dan Seneca. Jika di luar negeri ada Ryan Holiday dan Massimo Pigliucci yang mempopulerkan gagasan Stoa, di Indonesia ada Henry Manampiring.

Buku "Filosofi Teras" sejauh ini sudah memasuki cetakan ke-50, dengan beragam versi sampul dan ilustrasi. Saking larisnya, dan semula saya agak terkejut dengan fakta ini, beberapa teman saya yang tak suka baca buku pun memiliki buku ini dan membacanya.

Pandemi Covid-19 mungkin jadi momentum tersendiri bagi filsafat Stoa untuk memikat pikiran publik. Kala pandemi berkecamuk dan kita semua diteror oleh rasa takut akan kehilangan orang-orang tercinta, Stoikisme terasa nyaman dan menenangkan.

Itu karena Stoikisme memberi kita banyak nasihat tentang bagaimana menangani segala sesuatu, mulai dari penolakan romantik sampai urusan liang lahat. Hal-hal yang berada di luar kendali kita, seperti maut dan sikap Putin, katanya, tak perlu diambil pusing.

Kendati begitu, popularitas ide Stoa sebenarnya sudah berkembang jauh sebelum pandemi terjadi. Dan tentu saja, relevansi Stoikisme jauh melampaui peristiwa bencana. Bukankah dalam kondisi normal sekalipun kita selalu diteror oleh rasa takut dan cemas?

Stoikisme, pendeknya, memang terasa begitu relevan di zaman kita yang serba tak pasti dan penuh kesemrawutan.

Namun, setelah menjelajahi ide-ide lain, saya mulai merasa risih dengan ide-ide Stoa. Dan harus saya katakan, meskipun orang sering salah sangka, saya bukan seorang Stoik. Saya bisa melihat daya tarik Stoikisme, tapi saya juga melihat noda-nodanya.

Di sini saya tak mengaku sepenuhnya memahami Stoikisme. Saya membaca beberapa karya filsuf Stoa, seperti "Enchiridion"-nya Epictetus dan "Meditation"-nya Marcus Aurelius, serta kumpulan tulisan Seneca tentang kematian "How to Die". Saya kira ini cukup.

Stoikisme itu memikat, tapi tak cocok buat saya

Sejak Zeno dari Citium sekitar 2.000 tahun yang lalu, Stoa telah berkembang dengan versi yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar, janji utamanya adalah kebebasan dari kesedihan dan rasa sakit yang ditimbulkan oleh aneka perubahan nasib.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline