Hari itu saya mengobrol dengan tukang mie ayam langganan saya. Usianya mungkin 50-an, dan saya ingat dia mengeluh tentang tagihan listrik, iuran kuliah anaknya, dan menurunnya performa Persib Bandung di awal musim ini.
Saya kurang ingat kelanjutannya, karena sambil mendengarkan itu, saya juga berpikir tentang iuran kuliah, tagihan indekos, dan buku-buku. Bagaimanapun, saya ingat kalimat terakhirnya: "Mumpung kamu masih muda, jangan menyia-nyiakan hidup."
Itu cukup filosofis, tapi tetap saja bukan barang baru buat saya. Jauh sebelumnya, saya sudah sering dengar bahwa usia 20-an dan awal 30-an adalah waktu terbaik dalam hidup seseorang: kesehatan prima, tanggung jawab masih sedikit, penuh peluang dan risiko.
Tapi sebetulnya saya tak melihat banyak perbedaan antara saya dan bapak penjual mie ayam. Baginya, kepanikan disebabkan oleh terlalu banyak stabilitas, mudah diprediksi, serba pasti. Bagi saya justru sebaliknya: tak ada stabilitas, susah diprediksi, serba tak pasti.
Ini adalah tentang saya dan generasi saya - kami yang mulai menapaki usia seperempat abad, dan kelihatannya dunia tak seperti yang dijanjikan. Dan ini juga tentang serangkaian lamunan yang dingin dan tak berperasaan, serta bagaimana saya coba bertahan dengannya.
Kedewasaan adalah mitos
Setiap kali saya bertukar keluh kesah dengan teman-teman saya, jawaban mereka selalu klise: "Kita sedang mengalami quarter-life crisis." Katanya, usia 20-an dan awal 30-an merupakan periode yang tak stabil, penuh tekanan, dan sarat kecemasan.
Apakah quarter-life crisis itu nyata, atau hidup memang begitu?
Ada bukti bahwa dunia memang jadi tempat yang lebih sedih, lebih khawatir, dan lebih stres dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini terutama terjadi di perkotaan: nyaris semua orang merokok dan berselingkuh, para pria membeli motor sport dan obat uban.
Jadi, meskipun mungkin quarter-life crisis itu tak benar-benar ada, saya pikir menjadi 20-an tetaplah menakutkan, apalagi di masa sekarang: melawan jutaan lulusan lain untuk pekerjaan pertama, perumahan makin mahal, kebutuhan makin banyak, hubungan serba retak.