Di dunia yang serba cepat dan saling terhubung ini, paradoksnya, kesepian telah menjadi semacam wabah yang menimpa segala usia dan latar belakang. Sarana interaksi makin mudah dan meluas, tapi tampaknya kedekatan satu sama lain justru makin merenggang.
Hasil survei Populix menunjukkan bahwa satu dari dua masyarakat Indonesia merasa dirinya punya masalah kesehatan mental. Salah satu pemicu utamanya adalah kesepian (46 persen), hampir sama besarnya dengan kendala finansial.
Walau kesepian adalah emosi manusia yang normal, jika terus dibiarkan, dampaknya bisa sangat berbahaya. Sebuah me
ta-analisis dari 70 studi menemukan bahwa merasa kesepian dapat mengurangi umur panjang sebanyak obesitas parah atau merokok 15 batang sehari.
Perasaan terkucil secara sosial mengaktifkan bagian otak yang sama kala kita mengalami rasa sakit fisik. Inilah mengapa kesepian terasa menyakitkan (teman saya bercerita bahwa dadanya terasa sesak saat merasa kesepian), bahkan memicu kelelahan dan depresi.
Kesepian, lebih lanjutnya, mengubah persepsi kita dan membuat kita merasa terancam secara sosial. Sebuah studi, umpamanya, menemukan bahwa orang menilai bukit lebih curam saat sendirian dibandingkan saat bersama teman.
Itu menjelaskan mengapa kesepian bikin kita lebih memerhatikan dan mengingat pertemuan yang sulit atau canggung daripada pertemuan yang memuaskan. Tendensi ini menjebak kita dalam lingkaran setan: kita butuh teman saat kesepian, tapi kita cenderung mengurung diri.
Demikianlah, sebagai gejala keseharian, semua itu perlu ditantang setiap hari.
Orang biasanya beranggapan bahwa kesepian dapat diobati dengan memiliki banyak teman. Ini karena kesepian sering dimaknai sebagai kesendirian dan kurangnya teman. Sementara ini benar dalam sebagian kasus, cerita keseluruhannya sangat berlainan.
Pertama-tama saya akan menguraikan perbedaan mendasar antara kesendirian dan kesepian, serta bagaimana keduanya tak selalu berhubungan, yang nantinya menjelaskan mengapa kita masih bisa merasa kesepian walau dikelilingi banyak teman.