Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Paradoks Produktivitas: Waktu Luang Bikin Kita Lebih Produktif

Diperbarui: 5 Juni 2023   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu luang biasanya dianggap kontraproduktif, padahal para peneliti mengatakan sebaliknya | Ilustrasi Dana Tentis via Pixabay

Barang dan jasa pemuas kebutuhan makin lengkap, tapi kebutuhan juga terus bertambah dan bervariasi. Orang pun lantas percaya bahwa mereka harus bekerja selama mungkin, menekan waktu istirahat sampai pada batas minimalnya.

Dalam kondisi begini, ketika orang entah bagaimana merasa bersalah kalau terlalu lama diam atau terlalu sedikit bekerja, tampaknya bukanlah saat yang tepat untuk membicarakan waktu luang. Jam-jam kosong, kata mereka, kontraproduktif.

Waktu luang, paradoksnya, justru menjadikan orang lebih produktif. Sekitar dua tahun lalu, Islandia menyelesaikan eksperimen lima tahun di mana 2.500 pekerja dari lebih 100 perusahaan berbeda mengurangi jam kerja mereka dari 40 jadi 35 atau 36 jam seminggu.

Pada waktu berdekatan, pemerintah Spanyol memulai eksperimen serupa dengan mengurangi jam kerja jadi 32 jam seminggu. Pada tahun 2019, Microsoft Jepang juga mencoba jam kerja yang lebih pendek.

Semua eksperimen tersebut sama-sama melaporkan adanya peningkatan produktivitas serta efisiensi secara holistik. Penelitian dan laporan semacam itu bukanlah barang aneh, tapi sebagian besar orang tetap percaya bahwa waktu luang bersifat kontraproduktif.

Mereka yang "membenci" waktu luang

Dalam dunia kerja, bahkan juga pendidikan, walau tak semua, kita dihargai atas dasar seberapa lama kita duduk dan hadir di kantor (atau kampus), bukan berdasarkan apa yang kita kerjakan. Waktu luang dianggap tak produktif, hanya buang-buang waktu.

Inilah mengapa kita punya jutaan pekerja kantoran yang menghabiskan lebih banyak waktu di meja kerja mereka. Waktu istirahat biasanya hanya untuk makan dan ke kamar mandi. Seperti katak dalam tempayan air yang terus menghangat, ini dapat mengancam jiwa kalau terlambat.

Dalam sebuah meta-analisis penelitian yang melibatkan lebih dari 1 juta orang, mereka yang duduk lebih dari delapan jam sehari tanpa aktivitas fisik sama sekali punya risiko kematian yang lebih tinggi, setara dengan risiko kematian akibat merokok.

Gejala tersebut tak hanya terjadi di kalangan pekerja kantoran, tapi juga orang-orang terkaya dan berpendidikan tinggi. Dulu, orang ingin kaya agar punya banyak waktu luang. Sekarang, hampir semua orang dari kelas sosial mana pun tampak menghindari waktu luang.

Problemnya, sekalipun mereka benar-benar ingin menyisihkan kesenggangan dari pekerjaan mereka, percaya bahwa waktu luang itu buang-buang waktu dan tak produktif justru bakal membuatnya jadi kenyataan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline