Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Merdeka Belajar Memberi Saya Banyak Waktu Luang (dan Ruang untuk Berbuat Salah)

Diperbarui: 16 Mei 2023   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana pagi jalan menuju Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran (8/5/2023) | Dokumentasi pribadi

Ketika Niklas Luhmann ditanya apakah dia melewatkan sesuatu dalam hidupnya, dia secara terkenal menjawab: "Jika saya ingin sesuatu, itu berarti lebih banyak waktu. Satu-satunya hal yang sangat mengganggu adalah kurangnya waktu." (Luhmann dkk., 1987, hlm. 139)

Saya pikir Luhmann betul, terutama dalam aktivitas yang melibatkan semesta gagasan. Orang perlu cukup waktu untuk berpikir kritis. Kadang, kalau ide-ide terlalu acak dan terlihat saling bertentangan, orang perlu jeda dan menyisihkan proyeknya beberapa hari.

Pendeknya, proses melahirkan ide-ide bagus selalu mengandaikan kecukupan waktu luang (leisure).

Sekilas, pendidikan dan waktu luang mungkin tampak kontradiktif; jika waktu luang biasanya diasosiasikan dengan kebebasan dan relaksasi, pendidikan dihubungkan dengan pembelajaran dan mungkin dianggap tak terkait dengan kebebasan.

Itu karena kita cenderung mengartikan pendidikan sebagai cara belajar formal di lingkungan terkontrol seperti sekolah atau perguruan tinggi. Padahal, dalam bahasa aslinya, "sekolah" berasal dari kata "skhole" (Yunani) yang secara harfiah berarti "waktu luang".

Pangkal perkaranya bisa dilacak kembali ke zaman Yunani Kuno. Alkisah, orang Yunani saat itu mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seorang pandai tertentu untuk belajar. Mereka menyebut kegiatan seperti itu dengan "skhole".

Dalam "skhole" inilah mereka dimungkinkan untuk berpikir, membayangkan, dan bertindak - entah sendirian maupun bersama-sama - guna memenuhi potensi diri dan menciptakan masa depan yang cerah bagi masyarakatnya.

Pendidikan, dengan demikian, adalah untuk menjamin semua kemungkinan tersebut, bukan membunuhnya. Pengajaran dan pembelajaran harus dilakukan dengan manusia, oleh manusia, dan untuk manusia.

Program Merdeka Belajar dari Kemendikbudristek, menurut hemat saya, telah menampung kemungkinan dan kebutuhan tersebut dengan sifatnya yang fleksibel dan membebaskan. Ini mungkin agak klise, tapi sesuatu yang benar memang harus sering dibicarakan.

Pengalaman belajar yang "aneh"

Saya merupakan mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran semester 4. Di semester ini, prodi saya mengadopsi kurikulum yang didasarkan pada capaian pembelajaran lulusan dan mengakomodasi kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline