Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Memikirkan Kembali Parliamentary Threshold di Indonesia: Sebuah Perspektif Kritis

Diperbarui: 4 Mei 2023   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Rapat Paripurna RAPBN 2019 di gedung DPR RI, Selasa (28/8/2018) | Gambar oleh Andri Donnal Putera via KOMPAS.com

Partai politik telah menjadi ciri utama demokrasi elektoral. Inilah mengapa patologi politik kontemporer sering kali berasal dari kelemahan serius yang melanda partai-partai besar. Di Indonesia sendiri, partai-partai politik adalah makhluk yang sangat aneh.

Sementara mereka begitu lembut karena terbuka untuk semua jenis pendatang baru (bahkan komedian sekalipun), mereka juga sangat keras: mereka secara efektif bergabung dengan negara dalam menetapkan aturan kompetisi politik, memastikan pendatang baru - khususnya partai-partai kecil - hanya memiliki sedikit cara untuk memengaruhi permainan.

Mereka berasumsi bahwa sistem politik yang terfragmentasi, kondisi ketika partai-partai kecil masih berkesempatan besar untuk memperoleh kursi di parlemen, dapat mengakibatkan kemacetan politik, terutama dalam pembentukan pemerintahan. Demikianlah, untuk mengurangi atau setidaknya menahan fragmentasi, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) mulai diperkenalkan.

Di sini saya bakal mengajukan tujuh argumen, baik teoretis maupun empiris, tentang mengapa penerapan ambang batas parlemen cenderung mencederai hak politik warga negara dan kurang menyehatkan untuk demokrasi kita.

Selain itu, aturan ini juga kurang efektif dalam jangka panjang karena efek hambatan masuk pada koordinasi politik - dan karenanya pada jumlah partai - tidak cukup berpengaruh secara empiris, termasuk dalam kasus Indonesia.

Pendeknya, saya berpendapat bahwa aturan ini hanya akan mempertahankan status quo dan, dengan demikian, kemandekan.

Pengertian dan tujuan ambang batas parlemen

Ambang batas parlemen menyiratkan bahwa sebuah partai hanya bisa mendapatkan kursi di parlemen kalau perolehan suaranya secara keseluruhan berada di atas nilai tertentu. Artinya, partai-partai yang mencapai porsi suara minimum dijamin mendapatkan alokasi kursi.

Nilai spesifiknya berbeda-beda di setiap negara: Swedia memiliki ambang batas empat persen suara nasional, Jerman lima persen, dan Turki sepuluh persen. Indonesia sekarang memiliki ambang batas empat persen dari jumlah suara nasional untuk bisa menduduki kursi DPR.

Seringnya, aturan ini dibenarkan karena dua alasan: membantu menghambat fragmentasi dan menahan munculnya partai-partai baru. Semakin tinggi hambatan elektoral, menurut asumsi pendukung ambang batas, semakin rendah jumlah partai yang bersaing.

Ini akan mengurangi koalisi yang terpecah-pecah, meningkatkan stabilitas pemerintah, dan menekankan kembali prioritas nasional yang menyeluruh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline