Perkembangan teknologi tampaknya semakin menuruti hukumnya sendiri, lepas dari kontrol manusia. Alhasil, teknologi modern terasa tidak memanusiakan proses pekerjaan, melainkan semakin memperbudak manusia.
Kebahagiaan yang ditawarkan zaman tentunya terus berubah, dan apa yang kita temukan hari ini adalah bahwa media sosial seolah berada di garda terdepan. Kita membukanya setiap hari, bahkan mungkin setiap jam.
Hari demi hari kita mengusap laman beranda dengan tenang, menemukan konten-konten lucu hingga seabrek berita absurd; kita tertawa dan terus tertawa hingga telapak tangan membasah. Pada lain waktu, kita dibuat gelisah oleh sepinya notifikasi.
Singkatnya, kita dibuat ketergantungan terhadapnya.
Media sosial yang pada mulanya kita harapkan dapat menjadi sumber kebahagiaan, tiba-tiba berbalik menjadi sumber penderitaan. Kita, entah disadari atau tidak, membawa beberapa permasalahan dunia maya ke dunia nyata. Lantas kita menderita dua kali di dua dunia.
Kebanyakan dari kita sudah (terlanjur) menyelam begitu dalam sampai tidak mampu lagi membedakan mana yang semu dan hakiki. Apa yang orang ucapkan kepada mereka di dunia maya rasanya merupakan cerminan diri mereka di dunia nyata.
Mereka seolah berjalan terseok-seok dan merasa asing terhadap sekitarnya. Mereka berbicara tanpa kesadaran, mendengarkan tanpa mengerti, tertawa lepas tanpa kebahagiaan. Semenjak itu, mereka menjadi ragu tentang teman-temannya, dunianya, bahkan dirinya sendiri.
Mereka terperosok ke dalam jurang alienasi.
Sepintas Alienasi
Karl Marx merupakan salah satu kontributor terpenting dalam penggunaan konsep alienasi. Menurutnya, bila disederhanakan, alienasi merujuk pada kurangnya kesadaran para anggota kelas sosial tentang peranan mereka dalam sejarah.
Namun, demi meningkatkan kemampuan heuristiknya dalam menafsirkan realitas sosial saat ini, tampaknya relevan bagi kita untuk memperluas konsep alienasi menjadi lebih multidimensi daripada perspektif yang diberikan Marx, yang berfokus pada keterasingan antara modal dan tenaga kerja.