Tidak ada jarak yang terlalu jauh untuk mendengarkan dan meresapi penderitaan orang lain. Kita mendapati banyak kata muncul begitu saja di kepala kita, tentu harapannya adalah mewakili kemalangan mereka serta menggambarkan rasa sakitnya dihujam teror setiap detik.
Tetapi kata-kata saja tidaklah cukup, atau setidaknya terasa tidak cukup. Kita bisa memilih diam dengan berpura-pura melewatkan suara jeritan yang memekik itu, dan secara normalnya memang keputusan itulah yang memberikan kenyamanan lebih.
Hanya saja, sikap diam juga dibatasi oleh kemuakan, kejengkelan, dan kekhawatiran yang tidak lagi tertanggungkan. Bila kemudian seseorang memilih melampauinya dengan penuh pertimbangan, ia mungkin akan membelot dan bersuara tanpa peduli dengan batasannya sendiri.
Lazimnya saya memilih untuk bersikap diam sebagai saksi, namun terhadap jeritan anak-anak dan dentuman rudal dalam perseteruan Rusia-Ukraina, saya memilih sikap yang kedua, dan saya merasa tidak berkewajiban untuk mengungkapkan alasannya kepada dunia.
Intinya saya tak bisa percaya bahwa segala sesuatu harus dikorbankan demi satu tujuan. Jelas ada hal-hal yang tak bisa dikorbankan.
Memang terlalu rumit bila harus menyeleksi secara ketat nilai-nilai mana saja yang layak disisihkan dari noda dosa dan kehancuran, tetapi dengan menilik berbagai prahara yang kita alami sekarang ini, saya pikir sesuatu itu menjadi jelas.
Sebagai generasi yang tidak mengalami pahit-pedihnya dua perang dunia, barangkali kita semua percaya akan adanya kedamaian dunia dan malah menaruh harapan besar terhadapnya. Tetapi bagi orang-orang yang memahami jalannya sejarah, mereka tahu badai sekecil apa pun selalu mungkin terjadi dalam masa yang tenang.
Tampaknya umat manusia tengah menagih kedewasaan dari dirinya sendiri. Kita tidak tahu apakah besok pagi dunia akan hancur berkeping-keping. Dengan ancaman seperti itu, ada suatu kebenaran yang perlu dipelajari dan direnungkan.
Menghadapi masa depan demikian membuat segala kedudukan, kehormatan, dan pangkat menjadi turun nilainya sebagaimana gumpalan asap yang tanpa arti. Kini satu-satunya kepastian yang masih kita miliki adalah penderitaan universal, yang akarnya menghujam dan berbaur dengan harapan.
Secara garis besar, kini masyarakat kita terbagi menjadi dua, di mana sebagian adalah mereka yang menaruh kepedulian terhadap kesengsaraan sesamanya, sedangkan sebagian lainnya memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya dengan bahagia sendirian.