Cara sederhana untuk menilai tumbuh-merosotnya perekonomian Indonesia adalah dengan memerhatikan iklim UMKM di tengah masyarakat. Misalnya pada tahun lalu, ketika sektor UMKM sangat terpukul oleh pandemi Covid-19, perekonomian nasional mengalami resesi.
Tentu penilaian semacam itu terkesan mereduksi kompleksitas yang terjadi, tetapi hal tersebut mudah dipahami karena UMKM mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian nasional.
Pada 2018 saja, jumlah pelaku UMKM mencapai 64,2 juta orang atau 99,99% dari jumlah pelaku usaha di Indonesia. Sumbangan UMKM terhadap PDB pun otomatis menjadi "tulang punggung" dengan persentase yang besar, yaitu 61,1%.
Eksistensi UMKM jelas selalu berada di sekitar kita, dan karenanya keseharian kita cukup dipengaruhi oleh mereka. Kemunduran UMKM adalah pukulan menyesakkan bagi satu bangsa, sebab itu akan menyebabkan tersendat-sendatnya arus perekonomian.
Meskipun pandemi telah memukul pelaku UMKM pada titik terendahnya, tetapi tidak bisa dinafikan bahwa pukulan tersebut justru telah memaksa mereka untuk melakukan digitalisasi secara menyeluruh terhadap bisnisnya.
Alih-alih "lahir kembali" dengan cara yang usang, UMKM bangkit dengan cara yang mengejutkan dalam beberapa bulan belakangan. Indonesia telah mengalami apa yang saya sebut "dentuman e-commerce", dan UMKM memasuki zona tersebut.
Tampaknya mereka mulai menyadari bahwa teknologi menuntut mereka untuk adaptif layaknya perusahaan-perusahaan raksasa yang jauh mendahului mereka. Dalam tempo yang singkat, mereka pun menyediakan produk dan layanan yang serba cepat dan praktis.
Contoh kasus yang mudah terjadi pada ibu saya sendiri. Sebelum pandemi, beliau membuka gerai jajanan sederhana di depan rumah. Produk yang ditawarkan beraneka ragam, seperti bacil, cireng bertabur tepung panir, dan makanan serupa yang diminati kaum muda.
Tetapi kedatangan pandemi benar-benar berdampak buruk pada keberlangsungan gerai ibu saya. Selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut, omzet penjualan semakin menurun dan (seperti kebanyakan pelaku UMKM lainnya) ibu saya hampir putus asa.
Pada saat itu, ibu saya memutuskan untuk menutup gerai jajanan tersebut. Dan seperti yang bisa ditebak, perekonomian kami semakin tidak teratur.