Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Jalan Logis untuk Memperbaiki Dunia: Sebuah Refleksi

Diperbarui: 26 Desember 2021   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perbaikan dunia dibangun oleh perubahan-perubahan kecil secara kolektif dan terus-menerus | Ilustrasi oleh StockSnap via Pixabay

Pada mulanya, manusia tidak memiliki apa-apa selain kekuatan kecil dari tangannya yang tidak bersenjata untuk melindungi dirinya. Manusia sama tidak berdayanya seperti kelinci yang diterkam singa, harimau, atau serigala.

Nenek moyang kita kiranya menerima hukum alam dengan pasrah bahwa mereka memang senantiasa akan dibayang-bayangi oleh bahaya dari hewan-hewan yang lebih unggul ketimbang mereka.

Namun, evolusi mengubah segalanya.

Berkat anugerah ketajaman intelegensinya, manusia telah melengkapi dirinya secara artifisial dan membuatnya sangat efektif. Jika ingin digambarkan secara berlebihan, manusia berada di puncak piramida bumi, dan mungkin semesta.

Dunia berkembang ke arah yang, secara sekilas, tampak baik. Angka harapan hidup semakin meningkat, sumber daya alam semakin tereksplorasi, sekat geografis seolah memudar oleh gelombang sinyal yang melayang-layang di atas kita; semuanya serba praktis dan mudah.

Tetapi, di balik semua kemajuan yang mengagumkan itu, ada banyak nyawa yang tak terhitung sebagai korbannya. Bahkan bagi mereka yang bertahan hidup, kebahagiaan dan ketenangan mereka berada di ambang batas nihilisme.

Mengapa dunia menjadi ruang yang dipenuhi paradoks semacam itu? Ada banyak jawaban yang mungkin dapat memuaskan kita, tetapi saya tidak akan membahasnya di sini karena saya tahu, jawaban saya hanya akan mereduksi kompleksitas permasalahan.

Yang jelas, kemajuan yang luar biasa ini membawa konsekuensi yang tidak terelakkan: bencana perubahan iklim, pandemi global, kehancuran ekologis, keruntuhan sistem global, penyalahgunaan AI (mungkin termasuk metaverse), dan ancaman perang nuklir.

Ah, tentu saja, saya sama sekali tidak punya kapasitas untuk mengupas semua permasalahan tersebut. Tetapi satu hal yang agak-agaknya menjadi akar dari semua itu adalah, kematangan budaya kita telah merosot.

Sesungguhnya, itu normal. Maksud saya, sejarah peradaban manusia memang kerap berjalan demikian seperti keniscayaan siklus yang berputar. Namun kemerosotan yang kita rasakan sekarang ini, ironisnya, semakin cepat dan nyaris tidak dapat dikendalikan lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline