Menjadi berbeda itu cukup menggelisahkan. Anda melangkah di jalan Anda sendiri dan tidak seorang pun yang berjalan mengikuti Anda di belakang. Jika suatu waktu Anda tersesat, Anda tidak bisa bertanya pada siapa pun yang jelas-jelas tidak tahu arena Anda.
Saya akui itu tidak mudah: orang-orang rentan salah paham terhadap tindakan saya, dalam beberapa momen saya terasingkan, mereka tidak mengerti dengan apa yang saya katakan.
Tapi di sisi lain, saya juga tidak tahu lagi jalan yang lebih mengasyikkan daripada itu.
Dua hari yang lalu, saya membeli buku Friedrich Nietzsche yang dalam bahasa Indonesianya berjudul "Mengapa Aku Begitu Pandai". Saya merenungkan judul buku itu bersama keheningan, dan kemudian timbul pertanyaan senada dalam benak saya:
Mengapa aku begitu berbeda?
Apa yang membuat kedamaian ini begitu lestari dalam batin saya? Betapapun saya memeriksa kehidupan saya sekarang ini, keadaannya tidak lebih baik ketimbang pengalaman masa lalu saya yang jauh dari kesengsaraan.
Ada kelelahan yang cukup menyiksa fisik saya. Beberapa aspek tidak terkendalikan, dan yang lainnya tidak menggairahkan. Sebagian orang bersikap menyerang saya hingga segelintir di antaranya menusuk di balik selimut.
Hanya saja di balik semua itu, saya menemukan kedamaian yang tak terusikkan dalam diri saya. Di tengah-tengah kekacauan, saya temukan dalam diri saya ketenangan yang tidak terkalahkan.
Saya tersenyum, menangis, tertawa, menderita, bahagia, jengkel, sengsara, stres, kecewa, pasrah, marah; tapi mengapa semua itu seperti satu-kesatuan yang tiada bedanya bagi saya? Mengapa saya begitu menikmatinya, dan orang lain tidak?
Pertanyaan itu mengusik pikiran saya hingga sekarang, dan saya ingin menuliskannya dengan keyakinan bahwa semua orang membutuhkan ini sebagaimana saya.