Chiron duduk sekitar 3 meter di depanku dengan kepulan asap rokoknya yang menjijikkan. Asap itu menyatu dengan kabut tipis nan rendah yang menyelimuti sekitar kami, seakan-akan memberitahu bahwa pegunungan punya daya untuk melawan pada apa pun yang mencemarinya.
Kuresapi udara sejuk ini dengan diselingi kicauan burung kolibri dan pertunjukan keindahan surga dari cenderawasih. Sinar mentari yang temaram masuk lewat celah-celah pohon cemara, sebagian di antaranya benar-benar menyorotiku seperti pertunjukan sirkus pada Abad Pertengahan.
Aku tidak tahu pukul berapa sekarang, yang jelas bagiku adalah permukaan bulan yang mulai tampak tertutupi awan cirrocumulus. Beberapa burung walet juga berlalu-lalang seperti sedang mencari sesuatu yang amat penting, mungkin semacam rahasia semesta.
"Duduklah senyaman mungkin," ujar Chiron sembari mematikan rokoknya. Dia duduk di atas hamparan rumput kering dan lembut sepertiku, bermandikan cahaya senja yang masih terang.
Aku segera menuruti seruan guruku. Perlahan kuluruskan tulang punggungku dan memeragakan duduk ala pertapa. Mungkin ini akan menjadi semacam meditasi yang membingungkan, sebab Chiron tidak memberitahuku apa tujuan "ritual" ini.
Dalam Tradisi, seorang murid sepertiku harus punya kerendahan hati untuk mengakui kelemahan diri. Tetapi guru yang terbaik adalah mereka yang juga rendah hati serta tidak angkuh dalam menunjukkan kelebihannya.
Dan murid terbaik adalah mereka yang bisa mengungguli gurunya secara terhormat.
Itulah mengapa hubunganku dengan Chiron lebih mirip seperti hubungan dua orang sahabat daripada hubungan guru dan murid. Aku senang, dia juga tidak pernah segan untuk menunjukkan kekurangannya, termasuk kecanduan merokok.
"Sekarang buat tubuhmu rileks," katanya. "Cobalah untuk mengosongkan pikiranmu."
Aku segera memejamkan mata dan memusatkan perhatian pada suara napasku sendiri. Perlahan tapi pasti, tidak kudengar lagi dengkuran burung hantu atau ocehan burung kolibri, pun tidak kulihat lagi kemalangan burung walet yang tersesat.