Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Andi Firmansyah

TERVERIFIKASI

Mahasiswa Ilmu Politik

Menyerahlah dengan Tepat dan Elegan

Diperbarui: 21 Juli 2021   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika sudah waktunya, menyerahlah | Ilustrasi oleh Gerd Altmann via Pixabay

Ketika saya gagal meraih sesuatu, saya jarang sekali membicarakan kegagalan itu pada orang lain. Bukan karena saya merasa malu, tapi saya sudah tahu jawaban mereka: jangan menyerah. Dan bagi saya, tidak ada nasihat yang lebih memuakkan daripada nasihat itu.

Selama ini kita didoktrin dengan kisah orang-orang hebat yang mengalami ribuan kegagalan dan mereka tidak menyerah. "Ingatlah Thomas A. Edison yang mencoba ribuan bahan berbeda sebelum akhirnya menemukan formula yang tepat untuk menciptakan bola lampu.

Atau Einstein yang gagal mendapatkan pekerjaan di bidang fisika dan terus berjuang memimpikan ide-ide revolusionernya untuk fisika di kantor paten Swiss. Atau J.K. Rowling yang ditolak belasan penerbit hingga akhirnya berhasil mempopulerkan kisah Harry Potter."

Saya tahu itu. Kita tahu. Dan itu berlebihan.

Kenyataannya, mereka juga menyerah ... dengan waktu dan cara yang tepat. Orang-orang besar di dunia ini selalu tahu kapan momen yang tepat untuk menyerah dan tidak berkeras kepala melanjutkan perjalanan yang hanya merusak diri mereka sendiri.

Budaya kita meromantisasi ketekunan, dan untuk alasan yang manis: ketekunan adalah kualitas orang-orang hebat. Banyak hal menakjubkan di dunia yang tidak akan pernah kita kenali, jika mereka tidak terus bangkit setiap kali mereka jatuh.

Itu benar, tapi setengah berbohong. Pernyataan semacam itu hanyalah sebuah proyeksi yang menampilkan gambar di monitor dan menyembunyikan sesuatu yang lain di balik layar. Bahkan kemungkinannya, sesuatu yang di balik layar itulah yang paling berharga.

Nah, sebuah artikel yang menyarankan Anda untuk menyerah mungkin tidak akan menginspirasi Anda sama sekali. Tetapi itulah tujuan saya: artikel ini harus bersifat realistis. Dan ironisnya, sesuatu yang realistis punya kemungkinan yang lebih besar untuk menginspirasi.

Hidup adalah labirin raksasa

Kita adalah kepulan debu kosmik yang terbang seperti daun gugur dan berlabuh di sebuah labirin raksasa yang mereka sebut sebagai kehidupan. Jalan hidup manusia lebih mirip seperti sebuah labirin ketimbang garis lurus.

Dalam perjalanannya menuju garis akhir, kita dihadapkan pada jalan berkelok-kelok, dan tidak jarang malah menemui kebuntuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline