Langit sore semakin larut menjadi gelap. Malam akan segera tiba dan udara di taman semakin sejuk. Aku bisa melihat mata biru safirnya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Mataku turut murung, tapi tebakanku, angin sore memang bisa membuat siapa pun menangis tanpa alasan.
Dia memakai gaun ungu sederhana yang bisa dibilang tidak cukup untuk menghangatkannya di tengah kedinginan ini. Jadi aku menyuruhnya agar segera pulang, tapi dia menolak.
Sudahlah, tidak ada yang kukatakan selain mengangguk dan tersenyum. Kemudian dia bertanya sesuatu yang lain, "Kamu pernah bercerita waktu itu kalau kamu suka berkelana di kaki pegunungan. Iya?"
Alisku bergerak mengiyakan diiringi sedikit anggukan. "Apa pengalaman luar biasa yang pernah kamu alami di sana?" tanyanya.
Aku berpikir sejenak untuk mengingat-ingat momen termanisku selama di sekitar pegunungan Alodie. "Terkadang aku menulis puisi di sana, atau beberapa cerpen. Keheningan di sana membuatku suka untuk berkontemplasi."
"Waw, tapi maksudku bukan itu, pengalaman apa yang paling berkesan untukmu selama di sana?"
Aku mengerti betul maksud pertanyaannya. Jadi jawabanku tadi sekadar pengisi ruang keheningan ketika aku coba mengingat kenangan termanisku di sana. Ada terlalu banyak kenangan manis di sana, aku harus memilih yang terbaik dari yang terbaik.
"Ah, iya, pernah suatu waktu, seekor kupu-kupu Alcon Biru hinggap di keningku. Sayap biru yang dihiasi garis hitam di pinggirannya membahasakan dunianya yang tidak berada di bumi ini.
Dia hinggap beberapa kali di kening dan rambutku, tapi saat kucoba pancing untuk hinggap di tanganku, dia tidak pernah mau. Dia menggodaku seperti seorang Gadis Safir yang mengedipkan mata birunya."
Dia mendadak terhenyak mendengar kata "Gadis Safir".
"Siapa Gadis Safir yang kau maksud?" tanyanya. Aku hanya tersenyum dan melanjutkan: