Dunia menjadi semakin sibuk dalam beberapa peradaban terakhir. Ratusan jebakan kecil membuat kita jengkel setiap harinya. Mari kita akui saja bahwa abad ke-21 menjadi masa di mana orang-orang menjalani kehidupannya dengan terlalu serius.
Dan sesuatu yang terdapat kata “terlalu” selalu tidak baik.
Pandemi yang pada mulanya diprediksi sebagai waktu istirahatnya bumi ternyata tidak demikian pada akhirnya. Umat manusia tetap menjadi sibuk dan mulai bisa hidup bersama dengan si virus itu.
Barangkali saya tahu mengapa demikian: karena kesibukan adalah (satu-satunya) cara untuk membuat kehidupan tampak berarti. Setiap orang benci menganggur, bahkan seorang pengangguran pun merasa malu.
Dalam budaya kita, menganggur sama dengan label malas. Label malas mendatangkan cemoohan masyarakat sehingga hidup dipenuhi dengan kebencian pada diri sendiri. Dan beberapa orang mulai berpikir untuk menggantungkan lehernya di seutas tali.
Itu contoh yang ekstrem, tapi saya membuatnya jelas. Di dunia yang serba teknologi ini, umat manusia menjadi sangat serius dengan kehidupan.
Sangat mudah untuk terjebak dalam berbagai pilihan sehingga mayoritas orang merasa stres karena merasa telah membuat keputusan yang buruk.
Akan tetapi, apakah demikian pentingnya hingga hidup harus dijalani dengan (sangat) serius?
"Jangan terlalu serius dalam ketidakseriusan"
Satu kelemahan terbesar umat manusia di abad ini adalah menganggap hidup sebagai kompetisi. Banyak orang menjalani kehidupannya seperti sedang lomba maraton, dan jika kalah, mereka merasa seperti pecundang dan pengecut.
Kita dapat mengerti bahwa peradaban sekarang menyediakan segala hal yang kita butuhkan. Dan ini menjadi alasan kuat mengapa orang-orang hidup dalam tuntutan kompetisi: setiap orang ingin dipandang sebagai yang paling sejahtera.
Saya tidak menyangkal bahwa kesejahteraan itu amat penting. Namun, apakah cara demikian memang etis? Tidakkah pengorbanan yang kita lakukan terlampau banyak untuk hasil yang tidak pasti? Kita harus menanyai diri sendiri tentang hal itu.