Siapa yang bisa meluangkan waktu untuk tidak melakukan apa-apa di dunia yang serba cepat dan sibuk ini?
Kita hidup pada masa di mana "menjadi sibuk" adalah identitas dari seorang pemenang. Ketika kita "tidak melakukan apa-apa", kita dituduh sebagai seorang pemalas atau pengangguran.
Kepergok sedang berdiam diri saja sudah dilabeli sebagai aib. Bahkan seandainya kita punya kekayaan yang melimpah, tetangga akan berpikir bahwa kita telah melakukan pesugihan babi ngepet *uhukk...
Tapi, apakah "tidak melakukan apa-apa" sedemikian buruknya? Saya punya pengalaman yang luar biasa tentang ini.
Beberapa waktu lalu, organisasi yang saya ikuti sedang merevolusi tatanan kepengurusan karena pembagian kerja yang tidak efektif. Dalam sebuah rapat, diajukan dua sistem kepengurusan baru di mana keduanya akan didiskusikan mana yang lebih baik.
Setelah melakukan voting, semua anggota malah terpecah menjadi dua kubu. Sebut saja kubu A mendukung sistem 1 dan kubu B mendukung sistem 2. Diskusi yang alot ini berujung pada perdebatan yang sengit.
Kedua kubu tidak mau mengalah. Masing-masing dari mereka mengagungkan keunggulan sistem yang disetujuinya sembari menyerang kelemahan sistem yang satunya.
Di tengah perbincangan yang panas, saya mengangkat tangan dan berkata, "Ketua, saya mohon izin untuk keluar ruangan."
"Untuk apa?" tanyanya.
"Untuk tidak melakukan apa-apa," sambung saya dengan sambutan tatapan sinis dari para anggota.
Ketua mengangguk dan saya pun berjalan keluar tanpa membawa apa pun. Saya hanya pergi menuju tempat terbuka dan berteduh di bawah pohon.