Tidak peduli kita menginjakkan kaki di bumi mana pun, narasi yang ada akan memukul kita habis-habisan bahwa kita harus berjuang untuk mewujudkan impian kita. Jika tidak, kita dilabeli sebagai sejenis makhluk kegagalan.
Saya merasakan tekanan itu pada usia 16 tahun. Oh betapa malangnya seorang anak yang baru tumbuh remaja berjalan ke sana-sini mencari jati diri.
Tapi, semua itu berakhir menggelikan. Ternyata apa yang dicari ada di kantong saku celananya sendiri.
Saya yakin semua orang merasakan pengalaman yang serupa, suatu masa di mana kita dibombardir oleh bisikan-bisikan gaib bahwa kita adalah pengecut dan bukan apa-apa.
Di setiap sudut seakan-akan terpampang sebuah poster raksasa yang tak kasat mata, memberitahu kita bahwa setiap orang dapat mencapai keinginan mereka dengan asumsi mereka mau bekerja keras.
Tapi apa yang terjadi tidak selamanya demikian. Ada beberapa orang yang pekerja keras harus kalah oleh orang-orang yang punya kekuasaan, ketenaran, bla bla bla.
Sebagian dari kita merasa berang terhadap kehidupan. Nada keputusasaan menggema tajam di setiap tempat. Bahkan tidak jarang berakhir dengan depresi, sebuah pemandangan yang suram tentang masa depan. Jadi, untuk apa melakukan sesuatu?
Jika Anda tidak menemukan orang-orang depresi di sekitar Anda, maka Anda adalah orangnya. Ya, ini sudah menjadi fenomena yang lumrah sejak berabad-abad yang lalu.
Saya tahu betapa gelapnya jurang nihilisme karena saya pernah terperosok ke dalamnya. Setiap hari dirasa hujan jarum tak kasat mata. Perasaan di mana segala sesuatu sangat kacau, tapi sudah takdir. Sebuah keyakinan bahwa Anda memang terlahir sebagai pengecut.
Namun, setelah pencarian yang menguras waktu, saya menemukan sebuah kesadaran agung bahwa hidup bukanlah sepotong keju yang bisa habis oleh sebagian orang.
Hidup adalah sesuatu. Setiap orang bisa memilikinya tanpa pernah takut akan kehabisan.